You are not logged in. Log in
Entries by Topic
All topics  «
Apologia Pada Senja
Arsitektur Kematian
Esai/Surat
Negeri Bencana
BLOG SI AMANG
29/12/11
2012
Topic: Esai/Surat


 


Karya Si Amang at 6:54 PM
Post Comment | Permalink
Arsitektur Kematian: Pondasi dari Batu
Topic: Arsitektur Kematian
Ibu ceritakan padaku tentang papa, rajukku.

Ibu menoleh dan menatapku erat.

"Dia telah pergi nak, sepuluh tahun lalu."

Iya aku tahu, jawabku. Kalau begitu ceritakan padaku papa waktu ibu dulu kali pertama mengenalnya, rajukku sekali lagi.


Ibu menghela nafas. Ia pun bercerita.

"Papa adalah tukang batu. Tiap hari kerjanya memecah batu. Kecil, sedang, besar mampu ia pecahkan. Kadang dibantu temannya, tapi lebih sering ia bekerja sendiri. Ibu melihatnya waktu ia hendak memecahkan batu sebesar rumah."

Mana ada sih batu serumah, sanggahku. Tapi ibu terus bercerita.


"Ibu juga tak percaya. Jadi kusapa dia dan memintanya berhenti. Tapi sungguh, papamu keras kepala. Kepalanya mungkin seperti batu itu. Ia bilang jangan pikirkan batunya. Tapi pikirkan rumah yang bisa dibangun dari batu itu. Akhirnya batu sebesar rumah itu ia pecahkan, awalnya dari membelahnya besar-besar, kemudian, memecahkannya keping demi keping. Kemudian keping demi keping itu ia susun dan jadilah pondasi."


Wah, pondasi rumah inikah, tanyaku.

Ibu hanya tersenyum mengiyakan.

Kukagumi rumah cita-cita yang kudiami ini.

Ibu berkata lagi.
"Papamu, nak, adalah tukang batu. Dan kita juga adalah keping-keping batunya."

Jakarta, 22 Desember 2011

Karya Si Amang at 6:39 PM
Updated: 29/12/11 7:12 PM
Post Comment | Permalink
23/11/11
Senja-Senja Kita
Topic: Esai/Surat

Adinda,

Sudah berapa lama kita tak terpekur menatap senja bersama? Sehari? Sepuluh hari? Satu bulan? Tiga tahun? Begitu lama ya? Padahal aku menyukainya. Selalu menyukainya, sama seperti aku mencintaimu.

Mungkin sekali aku terpengaruh puisi Pablo Neruda ini.

Kulihat dari jendelaku
pesta matahari tenggelam di puncak puncak pegunungan yang jauh.

Kadang sepotong matahari
terbakar seperti sebuah uang koin di antara tanganku.

 

Dulu biasanya kita selalu punya momen bersama ini. Sepotong senja di pekarangan kita, sepotong senja di pinggir kota, sepotong senja di bibir pantai, sepotong senja dari atap gedung. Mungkinkah karena kita kini menatap langit yang berbeda?
 
Kini dari jendelaku, aku bisa kembali melihat setiap senja jatuh di cakrawala. Tapi terasa berbeda dan tak lagi sama. Kuharap satu hari nanti kita bisa kembali menatap senja bersama. Semoga.
 
 
Jakarta, November 2011
 

Karya Si Amang at 9:09 PM
Updated: 23/11/11 9:44 PM
Post Comment | Permalink
14/11/11
Lelaki Penuh Air Mata di Tengah Hujan
Topic: Esai/Surat

Adinda,

Apa kau pernah melihatnya? Aku pernah. Lelaki itu kulihat tengah menangis. Barangkali kamu akan bilang itu pemandangan biasa. Tetapi tidak, aku katakan padamu kalau lelaki itu menangis justru saat berada di tengah hujan. Malahan aku mau mengatakannya lagi kepadamu, aku teramat sering melihatnya menangis di siang benderang, tepian laut, pada sebuah pesta, di tengah pertunjukkan musik, dini pagi, tak semata karena rintik hujan ini, bahkan aku pernah melihatnya menangis di depan topeng monyet yang bercanda lucu di depannya.

Apa yang ia sedihkan, adinda? Aku tak pernah tahu. Kesedihan apa yang membuatnya mampu bertahan, detik berganti detik, hari demi  hari, mengeluarkan air mata, meratapi sesuatu tanpa pernah putus.

Apakah ia putus cinta? Apakah ia menyesali suatu peristiwa? Atau kah justru karena alasan yang begitu absurd, semisal apakah ia melakukannya karena hobi? Sekedar mengharapkan simpati begitu banyak orang? Setiap saat aku melihat lelaki yang penuh air mata itu, terutama di tengah hujan seperti saat ini, pertanyaan itu mengemuka. Seolah aku peduli. Tidak, adinda. Aku bukanlah orang-orang yang ingin tahu seperti itu.

Justru aku terganggu.

Sejak kali pertama kulihat ia menangis di depan jendela mobilku, semula kupikir ia mau meminta sedekah. Jadi kurendahkan kaca mobil dan kukeluarkan uang hingga menyembul keluar. Tetapi ia menatapku, masih dengan tangisnya, lalu menampik uangku. Kemudian kupikir ia menghinaku. Ia bukan sedang minta belas kasihan, tetapi ia sedang menangisi diriku. Ia pasti tahu kalau uang yang kuberi padanya adalah hasil kerjaku dari menipu klien-klien di kantorku. Aku begitu marah dan ingin menghardiknya, tapi lampu sudah menyala hijau dan dengan terpaksa aku harus menginjak pedal mobilku.

Sepanjang malam aku tak bisa tidur. Belum pernah aku dihina begitu rendah. Kau tahu 'kan aku tidak suka menangis. Semua orang di sekitarku sepertinya membuat tangisan sebagai hal yang tabu kulakukan. Jadi aku tidak pernah menangis, lalu tentu saja karenanya aku tak terbiasa melihat orang menangis begitu saja di depanku. Cuma lelaki itu saja.

Namun menjelang dini hari, aku tak lagi marah. Malahan aku iri pada lelaki itu. Iri membayangkan betapa bebasnya ia menyatakan rasa pedihnya. Betapa leganya ia setiap kali selesai menangis dan tak harus membawa beban di hatinya kemana-mana dan sibuk membohongi diri sendiri bahwa semua baik-baik saja. Betapa lepasnya semua ekspresi yang ia sampaikan, bukan ekspresi yang dibuat dan dipersiapkan lewat serangkaian latihan di depan kaca, pujian yang bukan pujian, basa-basi kelewat panjang yang kulafalkan untuk mendapatkan apa yang kuinginkan dari klien-klienku. Demi jagad, aku sungguh iri padanya.

Begitulah adinda, sejak saat itu aku selalu berupaya bisa melihat lelaki itu. Setiap hari, setiap lewat perempatan ini, lalu setiap saat seperti orang jatuh cinta.

Setiap kali aku lihat ia menangis, aku mencoba memaknai setiap tangisnya. Membayangkan bahwa pada setiap bulir air matanya ada sebuah emosi yang bergegas pergi menyampaikan pesan. Anagram yang meminta segera kupecahkan artinya. Seketika itu juga aku tahu bahwa aku telah terobsesi pada lelaki penuh air mata itu.

Jadi adinda, apakah kau pernah melihatnya? Atau kalaulah belum, maukah kau mengatakan padaku sekiranya kau lihat ia. Karena belakangan orang sering mengatakan lelaki penuh air mata itu adalah aku. Di sekelilingku orang sering berkata, "hey, mengapa kamu selalu murung dan menangis?" Padahal kau tahu, adinda, aku bukan dia. Aku bukan lelaki yang penuh air mata itu.

Hujan.

Semakin deras, meliukkan dahan pepohonan di luar kaca jendela. Aku yakin di luar sana, lelaki penuh air mata itu ada. Seperti refleksi yang terpantul dari kaca jendela ini.

 

Jakarta, November 2011


Karya Si Amang at 6:08 PM
Updated: 23/11/11 9:08 PM
Post Comment | Permalink
09/11/11
Bayang-Bayang Pergi di Suatu Senja
Topic: Apologia Pada Senja

Di titik itu. Pada rekah sebuah senja. Bayangku tiada.

Pergi begitu saja mengambil jiwa, lalu meninggalkan sepotong raga tanpa nama.

Hampa.

Senja seindah apapun jadi tak punya makna.


Karya Si Amang at 9:05 PM
Updated: 14/11/11 7:59 PM
Post Comment | Permalink

Newer | Latest | Older