You are not logged in. Log in
Entries by Topic
All topics  «
Apologia Pada Senja
Arsitektur Kematian
Esai/Surat
Negeri Bencana
BLOG SI AMANG
14/11/11
Lelaki Penuh Air Mata di Tengah Hujan
Topic: Esai/Surat

Adinda,

Apa kau pernah melihatnya? Aku pernah. Lelaki itu kulihat tengah menangis. Barangkali kamu akan bilang itu pemandangan biasa. Tetapi tidak, aku katakan padamu kalau lelaki itu menangis justru saat berada di tengah hujan. Malahan aku mau mengatakannya lagi kepadamu, aku teramat sering melihatnya menangis di siang benderang, tepian laut, pada sebuah pesta, di tengah pertunjukkan musik, dini pagi, tak semata karena rintik hujan ini, bahkan aku pernah melihatnya menangis di depan topeng monyet yang bercanda lucu di depannya.

Apa yang ia sedihkan, adinda? Aku tak pernah tahu. Kesedihan apa yang membuatnya mampu bertahan, detik berganti detik, hari demi  hari, mengeluarkan air mata, meratapi sesuatu tanpa pernah putus.

Apakah ia putus cinta? Apakah ia menyesali suatu peristiwa? Atau kah justru karena alasan yang begitu absurd, semisal apakah ia melakukannya karena hobi? Sekedar mengharapkan simpati begitu banyak orang? Setiap saat aku melihat lelaki yang penuh air mata itu, terutama di tengah hujan seperti saat ini, pertanyaan itu mengemuka. Seolah aku peduli. Tidak, adinda. Aku bukanlah orang-orang yang ingin tahu seperti itu.

Justru aku terganggu.

Sejak kali pertama kulihat ia menangis di depan jendela mobilku, semula kupikir ia mau meminta sedekah. Jadi kurendahkan kaca mobil dan kukeluarkan uang hingga menyembul keluar. Tetapi ia menatapku, masih dengan tangisnya, lalu menampik uangku. Kemudian kupikir ia menghinaku. Ia bukan sedang minta belas kasihan, tetapi ia sedang menangisi diriku. Ia pasti tahu kalau uang yang kuberi padanya adalah hasil kerjaku dari menipu klien-klien di kantorku. Aku begitu marah dan ingin menghardiknya, tapi lampu sudah menyala hijau dan dengan terpaksa aku harus menginjak pedal mobilku.

Sepanjang malam aku tak bisa tidur. Belum pernah aku dihina begitu rendah. Kau tahu 'kan aku tidak suka menangis. Semua orang di sekitarku sepertinya membuat tangisan sebagai hal yang tabu kulakukan. Jadi aku tidak pernah menangis, lalu tentu saja karenanya aku tak terbiasa melihat orang menangis begitu saja di depanku. Cuma lelaki itu saja.

Namun menjelang dini hari, aku tak lagi marah. Malahan aku iri pada lelaki itu. Iri membayangkan betapa bebasnya ia menyatakan rasa pedihnya. Betapa leganya ia setiap kali selesai menangis dan tak harus membawa beban di hatinya kemana-mana dan sibuk membohongi diri sendiri bahwa semua baik-baik saja. Betapa lepasnya semua ekspresi yang ia sampaikan, bukan ekspresi yang dibuat dan dipersiapkan lewat serangkaian latihan di depan kaca, pujian yang bukan pujian, basa-basi kelewat panjang yang kulafalkan untuk mendapatkan apa yang kuinginkan dari klien-klienku. Demi jagad, aku sungguh iri padanya.

Begitulah adinda, sejak saat itu aku selalu berupaya bisa melihat lelaki itu. Setiap hari, setiap lewat perempatan ini, lalu setiap saat seperti orang jatuh cinta.

Setiap kali aku lihat ia menangis, aku mencoba memaknai setiap tangisnya. Membayangkan bahwa pada setiap bulir air matanya ada sebuah emosi yang bergegas pergi menyampaikan pesan. Anagram yang meminta segera kupecahkan artinya. Seketika itu juga aku tahu bahwa aku telah terobsesi pada lelaki penuh air mata itu.

Jadi adinda, apakah kau pernah melihatnya? Atau kalaulah belum, maukah kau mengatakan padaku sekiranya kau lihat ia. Karena belakangan orang sering mengatakan lelaki penuh air mata itu adalah aku. Di sekelilingku orang sering berkata, "hey, mengapa kamu selalu murung dan menangis?" Padahal kau tahu, adinda, aku bukan dia. Aku bukan lelaki yang penuh air mata itu.

Hujan.

Semakin deras, meliukkan dahan pepohonan di luar kaca jendela. Aku yakin di luar sana, lelaki penuh air mata itu ada. Seperti refleksi yang terpantul dari kaca jendela ini.

 

Jakarta, November 2011


Karya Si Amang at 6:08 PM
Updated: 23/11/11 9:08 PM
Post Comment | Permalink

View Latest Entries