Topic: Apologia Pada Senja
Di titik itu. Pada rekah sebuah senja. Bayangku tiada.
Pergi begitu saja mengambil jiwa, lalu meninggalkan sepotong raga tanpa nama.
Hampa.
Senja seindah apapun jadi tak punya makna.
Di titik itu. Pada rekah sebuah senja. Bayangku tiada.
Pergi begitu saja mengambil jiwa, lalu meninggalkan sepotong raga tanpa nama.
Hampa.
Senja seindah apapun jadi tak punya makna.
Kupanggil kau matahari, ibu, karena sinarmu selalu menerangi petak jalanku. Saat muncul akar pada benih dan dahan-dahan kecilku mulai menggapai langit, ke arahmu sebenarnya aku tumbuh. Cabang-cabangku mungkin merambah ke mana-mana, tetapi kiblatku tetap pada terang cahayamu.
Itulah sebab redupmu di saat senja, ibu, membuatku kuyup layu. Senja, yang biasanya demikian indah dengan semburat srengenge, kini tak ubahnya pintu ke kegelapan kehidupan. Sesaat aku takut ibu, jerih hati pada kesendirian.
Hendak kugebah kabut gelisahmu yang pekatnya menyaingi rambut putihmu, ibu. Hendak kunyanyikan lagu girang pada senja-senja masa datang, ibu. Agar setiap detik dalam petakan jalan menjadi penuh arti dan setiap memandang matahari saat senja, ibu selalu tahu aku sayang padamu.
Mei 2011
Newer | Latest | Older