dunia kecil di belantara maya
ada di sudut kelokan jalan
dekat dapur peradaban

/depan
/indeks fragmen

/link
/isisitus

BLUES DAN KEPERGIANMU

DARI kejauhan dapat kau lihat ia, penyanyi muram itu, terhuyung sendirian. Langkahnya berat seolah beban dunia ditimpakan di atasnya. Tubuhnya kuyu diterpa hujan yang dingin dan berangin. Petir menyambar-nyambar seperti memenuhi kepalanya. Dengan susah-payah diseretnya kaki-kaki yang terbenam di genangan air selokan menuju pelataran parkir. 

Lelaki muram itu baru saja menyudahi malam yang memuakkan, sekaligus memabukkan. Memuakkan baginya karena ia baru saja putus cinta sore tadi. Sebuah kisah cinta yang berakhir cepat sebelum sempat bertunas menjadi kemeriahan bunga di tengah-tengah taman. Sebuah kisah suka dan duka yang berhimpitan sebelum sempat nafas dihelakan setelah tarikan yang melegakan. Kepedihan yang menyesakkan dada, merobek sukma, dan menghancurkan irama semesta. 

Namun di depan teman-temannya, ia katakan bahwa ia tegar menghadapi kenyataan itu. Ia tetap bernyanyi seperti biasa, sambil sesekali mereguk minuman yang membara. Malam itu ia buka dengan lagu "Anybody Seen My Girl?" Tidak dengan band pengiring, karena ia memetik gitar sendirian seperti hendak menirukan gaya penyanyi blues Keb 'Mo'. Pengunjung senang dan tetap tertawa riang. Keriaan yang mengalir dari kebahagiaan, kepuasan hidup, dan kepastian takdir. Meski kontras dengan keadaannya, ia tersenyum dengan sopan dan tertawa renyah bagi mereka. Namun tak dapat ia sembunyikan tangisnya yang mengering. Matanya masih sembab dan memerah. Tangannya gemetar serta bibirnya ia gigit dengan keras hingga berdarah. 

Memabukkan karena setengah botol ia tenggak tuntas tequilla, 8 johny walker double on rock, 5 sloki straight countreau, sampai lambungnya terasa ngilu dan berakhir di toilet untuk muntah-muntah. Mungkin ia hendak menangisi kebodohannya untuk percaya pada cinta. Atau mungkin ia ingin membunuh kesedihan itu. Bukankah kesedihan seperti kuman-kuman penyebar penyakit ganas, menyerang hati kita hingga membatu? Atau keduanya ia lakukan sekaligus. 

Kutemukan ia terkapar lemas di lantai toilet. Ada darah di muntahnya. Dengan cepat kubantu ia berdiri sambil kubersihkan bajunya yang kini beraroma tak sedap. Menyatu sudah bau alkohol dan bau luka kesedihan yang membusuk di dalam dadanya. Ia menatapku nanar. Lalu dengan parau ia katakan, "Makasih." Aku mengangguk tanda paham. Kupesankan capuccino panas dari bartender untuknya. Aku memberinya kode bahwa ia harus minum capuccino itu dan aku harus pergi sebentar. Ia hanya menatap kosong ke arahku. Seperti tak perlu menunggu jawabannya, aku kembali ke toilet untuk membersihkan lantai yang kotor karenanya. Dari sisa-sisa yang teronggok di sana, ia pasti mabuk berat. 

"Lelaki muram," desisku kasihan, "Kesedihan apa yang membuatmu teronggok seperti sampah di tempat ini?" Tanganku sibuk menyirami toilet dengan air. Aku masih memikirkannya hingga tanganku terhenti karena menemukan lipatan kertas di dekat tumpukan tisu. Tulisan tangan lelaki muram itu. Dengan hati-hati kubuka lipatan kertas itu. Isinya setengah terbaca karena basah oleh air, tetapi aku masih bisa membaca baris akhirnya. Isinya hanya terbaca seperti ini:

Saat kukecup tanganmu #########
rasa dingin terganti ######### #####m ##mi
##l#p ##### ####### embun fajar pagi
kini kau mengisi kecerahan taman hati

######### ######## #########
#g## kau tahu: aku cinta kamu

Di bawahnya tertera keterangan tanggal, tempat dan sebuah catatan kecil. Tampaknya baru ditulis tadi. Di sana tertulis: 
*** meski sedetik itu pula kau pergi dariku!! ***

"Karena inikah kau mabuk, teman?" desisku lagi. "Menangisi sebuah kepergian?" Aku jadi teringat kejadian beberapa bulan lalu saat aku dan dirinya berdiskusi tentang karya Alain Lomax. Di dalam bukunya, Lomax bertutur ketika musik benua Afrika dan Eropa pertamakali disatukan yang kemudian menjadi blues, para budak menyanyikannya dengan mensisipkan cerita-cerita penindasan dan penyiksaan yang mereka alami. Lirik-lirik yang diangkat bertema tentang tekanan terhadap para budak di penggilingan gandum. Nafas keterasingan di kamp-kamp Amerika Selatan dan duka-derita para budak di Delta Missisippi yang sering disiksa dan dipaksa bekerja untuk membuka ladang hingga terluka parah akibat cambukan atau bekerja hingga mati terasa amat kental. Lomax juga menjelaskan bahwa penjara-penjara di Amerika Selatan menyumbang tradisi lagu-lagu kerja dan lagu-lagu bertema pembunuhan, pelacuran, panasnya matahari, dan ratusan kisahan sedih lainnya. Inilah sebabnya musik blues identik dengan kisah-kisah kepedihan dan kehilangan. Lalu hal ini kutanyakan kepadanya, "Nah, apakah itu sebabnya untuk sampai pada pemahaman musik blues terlebih dahulu kita harus berada dalam kisah-kisah kepedihan dan kehilangan?" Ia tak menampik, tetapi juga tak mengiyakan. Dengan datar saja ia ucapkan kata-kata ini, "Life itself is full of sadness and great lost. And blues is the story of life." Apakah ini yang kau maksudkan dengan itu semua?

Ketika malam kian larut dan cerita-cerita para pengunjung menghangat, bir-bir kembali dituangkan. Sekali lagi kafe itu menjalani fungsi sosialnya untuk menjadi jembatan individu-individu kosmopolitan yang soliter dan terasing untuk berinteraksi. Ketika kukembali dan telah kukemasi barang-barang miliknya yang tertinggal di toilet, ia tak ada di sana. Meja itu telah kosong dan capucinno yang kupesan untuknya tak diminum sedikitpun. Mataku mencari-cari dirinya, hingga akhirnya kutemukan ia, penyanyi muram itu, kembali ke atas panggung sedang bernyanyi. 

Kali ini nyanyiannya diiringi James, pemain piano yang sering berkunjung untuk menemui Sue, penyanyi band kafe kami. Ia sedang menyanyikan salah satu lagu Keb 'Mo'. Kalau tak salah judulnya, "Don't Try to Explain"

Don't try to explain
the thought that you're gone and i'm feeling in pain
...

Don't try to explain
I can see the truth, it's all over your face
Something is comes between us but i still loving you 


Aku tak melihatnya lagi setelah ia menyanyikan lagu itu. Hingga akhirnya ia terlihat dini hari ini, terseok-seok mabuk sempoyongan di jalan raya Menteng. Kutepikan mobilku untuk mengajaknya pulang bersama, tetapi ia menolak. "Guwwwee masih pengen ..aareerr.. sendirian. e.eee.ee... Makasih." demikian ia berucap. Barangkali tergerak karena rasa kasihan dan takut akan bahaya kriminalitas di Jakarta, aku turun dari mobil, memaksanya masuk ke dalam mobil meski ia menolak sambil meracau kesetanan, menutup pintu mobil dan melarikan mobilku.

Hujan belum lagi berhenti. Dinginnya malam semakin menggigit bagi mereka yang terserak di jalan-jalan. Itu juga berlaku bagiku dan baginya, penyanyi muram itu. Ia tertidur lemas di sampingku.


Jakarta, 22 November 2001
Bilik | 9.58 pagi

 

Kreasi ini dilindungi oleh kesetiaan dan ketekunan, 
jadi mohon hargailah dengan layak dan sepantasnya.
Permohonan atas salinan puisi bisa disalurkan lewat email.
Amang's World - 2001-2003