dunia kecil di belantara maya
ada di sudut kelokan jalan
dekat dapur peradaban

/depan
/indeks fragmen

/link
/isisitus

DISKUSI TENTANG 12 BAR BLUES

TIGA dari kami yang berpesta tadi malam adalah laki-laki. Sisanya adalah perempuan kosmopolitan yang wangi tubuhnya harum seperti rimbunan melati dan lavender. Mereka baru saja meliuk lincah di atas lantai dansa, di bawah terpa lampu spotlight, ramuan minuman keras, hingar musik All Rise dan jerit sensual panjang pada setiap beat yang menghentak. Sedang ketiganya, laki-laki penelusur malam-malam panjang, repetitif mengulangi dan merespon segala hasrat yang terpancar dari mereka. Kadang meremas manja tubuh mereka --buah dada dan pantat--, lalu mengecup lembut bibir dan telinga mereka hingga mereka menjerit terangsang. Ketiga lelaki itu melakukan apapun yang mereka inginkan, bahkan kalau perlu meniduri mereka hingga puas. Lalu sebenarnya ketiga lelaki ini tak lebih daripada pelacur.

Sebut saja delapan, sepuluh atau enambelas bar, sebagaimana ketiganya diklaim dan diberi penilaian berdasarkan kemampuan seduktif yang dimilikinya. Namun sebenarnya ketiganya tak lebih daripada lagu-lagu balada dengan progresi harmoni yang memiliki daya ledak di setiap beatnya.

Di setiap blues yang mengiringi hubungan ketiganya dengan mereka, tersusun atas delapan hingga enambelas, meskipun umumnya hanya duabelas bar saja. Salah seorang dari mereka hingga hari ini masih penasaran padaku, pada cerita-cerita percintaanku, dan tentu saja masih memendam hasrat untuk merasakan pergumulan di ranjang yang panas dan membara sepanjang malam. Aku memang salah satu dari ketiga lelaki itu, profesiku: pelacur.

"Aku tak ada acara malam ini. Maukah kau temaniku ke bar?" ajaknya di telepon.
"Hanya kita berdua?"
"Hanya kita berdua. Aku rindu kamu. Aku ingin kau peluk aku seperti waktu malam itu di tepian pantai, lalu kau nyanyikan lagumu sepanjang malam. Aku ingin.." Dia meracau, tapi aku mengerti keinginannya.
"Baiklah. Nanti biar aku menjemputmu."
"Terima kasih, Sayang."

Perjalanan ke apartemennya tak makan waktu lama. Aku naik ke lantai lima dan duduk menunggunya di sofa dekat jendela. Acara televisi menyiarkan tajuk politik di negeri ini yang semakin rumit, sedang di kamarnya, perempuan itu masih mandi. Anita, nama perempuan itu, sudah lama mengenalku. Namun baru belakangan ini ia berani mengajakku keluar segera setelah ia mengetahui profesiku dari sahabat baiknya. Sedang aku sendiri, tak terlalu mengenalnya.

Bosan menonton televisi, aku menghampiri meja pendek tempat Anita meletakkan semua foto pribadinya. Ada foto dirinya ketika bayi, Anita dan mamanya, Anita berenang, sekolah, lulus jadi sarjana, Anita dan sahabat baiknya, Anita dan kucing, Anita pesiar ke Paris, Amsterdam, Muenchen, Napoli. Di setiap foto, Anita seperti sedang bercerita tentang siapa dirinya dan apa yang diinginkannya, tapi Anita selalu sendirian.

"Kamu pikir apakah aku selalu sendirian?" Sebuah suara halus datang dari belakangku. Anita dengan wangi melati dan lavender berdiri tepat di belakangku dan tangan halusnya memeluk pinggangku. "Apakah kau selalu sendirian?" tanyaku.
"Tidak juga. Hanya aku lebih senang di saat aku sendiri," jawabnya.
Kubalikkan tubuhku, hingga kami berdua saling bertatapan.
"Apakah lalu aku mengganggu kesendirianmu saat ini?" tanyaku.
"Oh, tidak Sayang. Jangan terlalu perasa seperti itu."
Tiba-tiba ia menjatuhkan dirinya dalam pelukku, lalu melumat bibirku dengan sebuah ciuman. Seperti tak berkesudahan kami berciuman, wangi melati dan lavender itu menyergapku, dan untuk kemudian tiba-tiba Anita mendorongku menjauh.
Dengan kikuk, ia mulai bicara. "Bisakah kita pergi sekarang?"
Lewat sudut mata, kutahu ia tadi menitikkan airmata. Apa alasannya, aku tak banyak bertanya.

* * *

Makan malam yang romantis baru saja kami lalui. Tiga jam kemudian, kembali lagi kami berada di apartemennya, dengan masih sibuk berceloteh tentang semua kisahnya dan bercampur dengan kerumitan pengalamannya saat memulai karir di kota ini. Anita menarik tubuhku untuk duduk berdampingan dengannya di sofa. Anita merebahkan kepalanya di bahuku, ia bergayut manja. Dari pengalamanku, aku tahu tak mungkin rasanya ada perempuan yang mengantuk jika bersamaku. Mereka hanya ingin dimanja dan diberi perhatian lebih. Maka aku mulai membelai rambutnya dengan lembut.

"Mas, saat ini aku tidak ingin sendiri. Aku ingin kau menemaniku," pinta Anita.
"Apakah kau merasa kesepian?"
"Aku takut."
"Takut?"
Lalu ada hening yang menggantung. Rambutnya mulai kusibakkan dan kucari celah bibirnya. Aku memberikan ciuman yang panjang dan kembali lagi kulihat airmata jatuh dari sudut matanya.
"Untuk apa kau menangis?"
"Karena aku mencintaimu. Karena kau menciumku meski hatimu tak mencintaiku. Karena aku takut, kau pergi dan tidur dengan perempuan lain selain diriku. Karena aku takut, kau pandang aku sama seperti perempuan lain yang menyewamu untuk memenuhi hasrat seksual mereka."
Kemudian ada dinding tebal dari baja di depanku lagi. Dingin, keras, dan tak terelakkan.
"Tapi aku tak perlu tahu apa itu cinta. Aku tak peduli dengan semua omong kosong tentang cinta," sahutku.
"Aku pun tak peduli, tapi Sayangku, aku mencintaimu!" tegas Anita mengulangi lagi perkataannya tadi.

Lalu Anita bangkit dan memelukku dengan erat. Tangannya segera meraih tengkukku serta ia dekatkan bibirnya kepadaku lalu menciumi seluruh wajahku dan mengulum bibirku. Berikutnya, dengan salah satu tangan ia mulai meremas-remas kemaluanku dan jari-jarinya mulai melucuti celana panjangku, hingga tinggal celana boxer yang kugunakan. Ia sendiri melepaskan seluruh pakaian yang dikenakannya dan dalam hitungan detik, ia memintaku untuk menyetubuhinya.

Aliran darah di tubuhku mengalir demikian cepat, hasratku terbakar dan kenikmatan seksual yang amat sangat menyergapku, tapi __________________________

* * *

Progresi harmoni dari duabelas bar blues berupa empat bar tonik, dua subdominan, dua tonik, dua dominan dan dua tonik atau berjarak I,I,I,I,IV,IV,I,I,V,V,I,I. Di setiap jarak itu ada suatu kord yang terbangun dari nada spesifik dari tangga nada mayor. Karena pengaruh dari musik rock and roll, kord kesepuluh diubah menjadi IV. Perubahan ini yang kemudian ditetapkan sebagai standar 12 bar blues sejak 1912. Jika tidak menggunakan pola ini, maka dapat dipastikan bahwa musik yang dimainkan bukanlah musik blues; apalagi jika melodinya sama sekali melenceng dari konstruksi harmoni musik blues.

Prinsip melodi blues dirancang agar menyajikan beat yang teratur dan memadukan tiga versi stanza berima atas duabelas hingga enambelas bar. Seorang penyanyi dapat mengulangi melodi dasar yang sama untuk setiap stanza atau berimprovisasi dengan melodi baru untuk mencerminkan perubahan nuansa pada lirik. Ritme blues juga sangat fleksibel, seorang musisi dapat menyanyi "di sekitar" beat, entah di depannya atau di belakang beat tersebut. Pendeknya, telah ada suatu pondasi untuk mengalir dengan bebas dengan improvisasi melodi yang lebar.

Tidak ada yang akan tahu alasan mengapa aku mengutip begitu panjang penjelasan tentang duabelas bar blues ini, jika kau masih saja menganggap kisahku dan Anita masih begitu penting untuk diceritakan.

Semua umumnya bertanya --para lelaki--, apakah kau tiduri perempuan itu? Apakah ia liar di atas ranjang? Sedangkan sisanya --para perempuan--, yang kuanggap lebih manusiawi, bertanya-tanya padaku setengah mengancam apakah aku telah menyakiti hati Anita dan membuatnya kecewa? Apakah aku juga mencintainya?

Tidak ada jawaban yang kuberikan kepada mereka semua, tidak sedikitpun akan kuberikan jawabannya, sebelum kalian semua merasa bahwa blues itu penting dan bahwa duabelas bar blues ini yang membentuk cara pandang untuk melihat kehidupan, sebuah filosofi, sebuah cara untuk berkomunikasi tentang hasrat personal, semesta yang chaos, dan kesendirian.

Jakarta, 2003

Kreasi ini dilindungi oleh kesetiaan dan ketekunan, 
jadi mohon hargailah dengan layak dan sepantasnya.
Permohonan atas salinan puisi bisa disalurkan lewat email.
Amang's World @ 2003