dunia kecil di belantara maya
ada di sudut kelokan jalan
dekat dapur peradaban

/depan
/indeks fragmen

/link
/isisitus

LANGIT DI DUA KOTA

MINGGU ini belum lagi berakhir. Tepatnya ini, hari Rabu pagi di bulan September. Musim semi telah lewat dan semua orang sudah memakai mantel dingin untuk menepiskan hawa menusuk dari hujan yang sering turun di kota London. Lembab dan seluruh dinding kota, jalan-jalan, tiang-tiang, tembok, gang penuh tetesan dan genangan air. Namun di Oxford Street, jalan yang dekat kampusku, kesibukan tak tampak terhenti di kiri-kanan jalan. Gerai toko franchise dari beragam waralaba penuh padat menawarkan breakfast. Di perempatan dekat jembatan, segerombolan saksi Yehovah membagi-bagikan leaflet tentang antifanatisme. Di seberangnya, seorang seniman meniupkan saksofon yang sumbang melafalkan "Imagine" dari Beatles. London, tak ingat aku mana yang lebih absurd antara Jakarta dan London. Hanya saja, di sini, akhirnya kupandangi langit. Berharap kau memandang langit yang sama, saat ini, hari Rabu pagi di bulan September.

Lalu aku ingat perjumpaan terakhir kita di bandara. Tak jauh dari pintu 1 DE di dekat sebuah kafe, kau berdiri. Berusaha menembus kaca, kau lacak diriku yang tengah sibuk mengurus fiskal, check-in, bagasi dan semua remeh-temeh yang mengiringi kepergianku di loker 11. Kau ingat itu kan? Tak lama sesudahnya kau lambaikan tangan, memintaku untuk mendekat dan disergap kerinduan yang penuh rasa ragu dan enggan kau memelukku. Untuk apa? Katamu, kau pasti merindukanku karena tak lama lagi aku akan berada teramat jauh di belahan barat dunia, mengarungi ribuan kilometer dari tanah air. Tak akan rindukah kau pada negeri ini, tanyamu. Aku mengangguk pelan, lalu selebihnya hanya kesunyian.

Sedari tadi, aku masih menyusuri Oxford Street dengan langkah perlahan. Sesekali kupandangi langit kota London dan kucari perbedaan yang cukup mendasar yang membedakan langit London dan Jakarta. Kata John, langit di Eropa lebih biru daripada langit kita, meski terlihat lebih kecil. Apakah itu benar? Itulah yang hendak kucari dan selidiki. Tapi di musim seperti ini, rasanya tak mungkin kutemui langit yang biru, karena awan mendung berkumpul padat menyesakkan di sepanjang horison mata memandang. Sudah jam 10.00 pagi waktu London, kau ada dimana?

* * *

AKU tak mengerti! Paling tidak kuharapkan ia mau sedikit memberikan respon saat kuminta ia tak pergi ke London. Tapi ia tak bergeming, menatap mataku pun tidak. Ia beringsut saja menjauhi diriku, lalu langkahnya yang kecil perlahan menuju pintu keberangkatan 1 DE dan kita berpisah. Itu saja, tanpa sederet kalimat perpisahan yang lazimnya diucapkan saat seseorang pergi sekian lama jauh dari tanah air. Adakah pelukan dan pertanyaanku apakah kau tak akan rindu pada negeri ini mengganggunya? Karena jawaban dirinya cuma sebatas anggukan pelan, lalu selebihnya hanya kesunyian.

Kemasan dua buah tas berisi kamera dan sejumlah perlengkapan film sudah tersandar di dekat tangga Gambir. Jam 10.00 keretaku akan bertolak ke Yogya. Di sana, seluruh kru akan melanjutkan perjalanan ke pantai Baron untuk merekam gambar. Tapi aku masih enggan pergi, setidaknya ada yang membuatku terhenti sejenak untuk melihat sekeliling. Langit Jakarta cerah, meski tadi malam memang hujan turun. Paling tidak di sepanjang Depok sampai Mampang, hujan turun menyejukkan hawa kota yang terlanjur gersang. Apakah langit di kotanya akan secerah ini? Apa yang sedang ia lakukan?

Masih ingatkah ia kejadian sehari sebelum kepergiannya ke London, saat ia minta aku datang mengantar ke bandara. Katanya, "Biarkan aku mengucapkan selamat tinggal padamu."

Untuk apa, tanyaku?

"Sebenarnya aku tak ingin pergi, tapi tak ada jalan untuk kembali."

Aku hendak membantahnya, tapi ia buru-buru menutup mulutku dengan telunjuk tangan.

"Sssh, besok kau datang ya. Please!"

Tak ada lagi perdebatan dan tahukah kau, itulah hal teromantis yang pernah ia lakukan padaku. Ia sendiri yang memintaku untuk datang di saat yang spesial. Tak ada orang lain yang diminta datang kecuali keluarga dan aku jelas-jelas bukan bagian dari keluarganya.

Lok CC201 yang menarik kereta Argo sudah tiba di lintasan 4, dan tak ada waktu banyak untuk memandangi langit Jakarta. Aku memanggul kedua tas itu dan masuk kedalam kereta. Hari semakin siang, lalu tak lama kereta berangkat ke Yogyakarta. Dimana dirinya saat ini?

Jakarta, 17 September 2003
23:31 WIB

Kreasi ini dilindungi oleh kesetiaan dan ketekunan, 
jadi mohon hargailah dengan layak dan sepantasnya.
Permohonan atas salinan puisi bisa disalurkan lewat email.
Amang's World @ 2003