dunia kecil di belantara maya
ada di sudut kelokan jalan
dekat dapur peradaban

/depan
/indeks fragmen

/link
/isisitus

LONDON BITES

MONET, as time goes by akhirnya aku bisa melupakanmu. Di sini, di deretan pertokoan Kingsland Street, wajahmu tak lagi terbayang pada setiap wajah orang yang kutemui. Tidak pada waiter berbangsa Turki, tidak pada pedagang sayur dari Afrika, tidak juga pada pasangan suami-istri dari Korea itu. O, betapa leganya! Tak perlu lagi aku malu membalas tatapan mata orang kepadaku. Malahan aku senang mendapati begitu banyak orang lain yang lebih pantas kucermati keindahannya daripada dirimu.

Monet, sungguh senang aku dapat melupakanmu. Kakiku yang kecil pun melangkah ringan. Senyumku yang lama tak terkembang akhirnya merekah ramah. Aku bahagia, dan tak jarang aku tertawa ria. Mungkin mereka yang melihatku sejak tadi akan berpikir - Pasti si orang Indonesia itu banyak beli minuman di off-license store yang ada di seberang jalan! Dasar pemabuk! - Tapi aku tidak mabuk, sumpah! Kau kan tahu sendiri, kalau aku mabuk tentulah aku akan menari-nari di atas meja bar sambil cekikikan tak henti-henti. Lalu paling-paling aku akhirnya amat mengantuk dan tertidur pulas serta akhirnya bangun dengan sakit kepala yang luar biasa.

Di pasar yang terletak di pertigaan Kingsland Street, kusapa pedagang buah pir dan mangga. Lalu sepuluh mangga yang besar dan ranum itu kumasukkan ke keranjang dan kubayarkan satu poundsterling atau setara dengan Rp 13.800,-. Bahkan di Pasar Minggu, Jakarta tak akan pernah dapat kubeli mangga semurah ini (satu kilo berisi dua buah mangga dihargai Rp 7.000,-). Well, tak baik terlalu membandingkan memang, tapi hari ini terlalu indah untukku.

Langit tak terlalu mendung, jadi aku bisa berjalan menyusuri trotoar di sekitar apartemenku. Warnanya biru seperti di cerita dari negeri-negeri dongeng. Dari tepian pagar, aku bisa melihat kilatan kereta api cepat yang melintasi silverline track dan memandangi matahari yang berumur pendek di awal musim dingin ini. Aku pun tak perlu terlalu banyak memakai mantel dan sepatu bots yang berat hanya untuk menikmati udara senja London. But honestly, London tidak indah. Hanya saja aku tak perduli dengan riwayat kota yang sudah tua ini. Aku tak perduli dengan Trafalgar Square, Old Trafford, Castlefield, gedung-gedung bersejarah yang tersebar di antero Inggris. Karena aku sedang merayakan sesuatu yang penting dalam hidupku, aku sanggup melupakanmu.

Seperti yang tadi kukatakan kepadamu, Monet, aku tak perlu lagi mencemaskan dirimu. Aku sedang menikmati diriku, hanya aku, betapapun menjadi narsis bukanlah kebiasaanku. Satu hal lagi yang ingin kukatakan, waktu memanglah obat yang mujarab. Bukan kepergianku ke London ini, bukan jalan-jalan dengan doubledecker melewati Picaddily Circus hingga ke Paddington. Atau naik tubes hingga ke New Cross untuk mengunjungi Andy yang sedang kuliah di sana. Bukan. Sejak dulu aku tahu, obatnya adalah waktu semata. Lalu betapa menyenangkannya, di musim dingin ini --jauh dari Jakarta yang hingar, kacau, lembab, dan kebanjiran--, aku beranjak melupakanmu.

Aku melupakanmu di saat London sedang gelisah. Aku menghapus semua berkas keberadaanmu di saat Lindsey German meneriakkan yel-yel dan memasang pamflet di setiap dinding dan tiang-tiang penyangga serta 1.000 orang berdiri mengangkang di depan Downing Street meminta agar Blair tidak lagi mau menjadi boneka bagi Bush. Sementara seratus ribu demonstran lainnya mengepung London yang dijadikan Bush sebagai "Washington kecil". Mereka ingin mencegat Bush yang mereka tuding lebih buruk daripada teroris manapun di dunia. Betapapun saat kupotong tali kenanganmu, guyuran hujan lebat dingin kota London, meski salju pertama belumlah turun, seolah membangkitkan kenangan akan kepanikan kota Jakarta setiap kali dilanda banjir tahunan. Banjirkah Kemang seperti tahun lalu, Monet? Lalu apakabar Sutiyoso gubernur goblok yang tidak punya akal sehat sama sekali itu? Buat ulah apalagi dia?

Tahukah kini apa yang kurindukan, Monet? Bukan bakso Blok-S! Atau nasi gila di Menteng! Berkumpul di hari yang fitri, bersama seluruh teman baikku. Di rumah Adit, di hari lebaran kedua, lengkap dengan seluruh kebahagiaan seperti di masa-masa lalu. Bukankah kita biasanya barbekyu atau prasmanan roti jala, ketupat, opor ayam dan sate. Lalu biasanya kalian akan minta aku berkaraoke. Lagu apa saja!- daulat kalian. Aku pun segera lantunkan "I Will" dari Beatles. _Hah! Itu kan lagu romantis kita! No, aku akan menyanyi "Semusim"-nya Marcell saja agar kau tahu the way I feel.

Di sini, aku cuma akan ditemani irisan mangga, yang betapapun murah harganya, tak sebanding dengan bayangan keriaan berlebaran di negeri sendiri. Well, Monet, kau tahu kan rasanya kalau tak punya banyak teman? Meski di sini ada, Blue, anjing kecil berbulu putih lebat, tetaplah mau tak mau aku tak bisa merayakan lebaran. Namun aku tak mau terlalu bersedih karena tak banyak punya teman. Kupikir langkahku ke klub jazz yang ada di seberang apartemenku adalah hal terbaik untuk segera memiliki teman baru dan segera menemukan penggantimu.

London, 22 November 2003
Kayla

Baca cerita sebelumnya:
LANGIT DI DUA KOTA

Kreasi ini dilindungi oleh kesetiaan dan ketekunan, 
jadi mohon hargailah dengan layak dan sepantasnya.
Permohonan atas salinan puisi bisa disalurkan lewat email.
Amang's World @ 2003