Amang's World | dunia kecil di belantara maya | ada di sudut kelokan jalan | dekat dapur peradaban

 
The Contents
/depan
/buku
/cerpen
/esai+surat
/foto+film
/fragmen
/puisi
/sobatpena
 
Behind This Site
/links
/sitemap
 
Message of the day
"The more you know who you are and what you want,the less you let things upset you" (Bill Harris, 'Lost In Translation')
 
PAKET DARI NEGERI UTARA

ADA yang tak lazim terjadi di pagi ini. Matahari bersembunyi di balik rombongan awan di ujung cakrawala, sedang burung tekukur, kedasih, cucakrawa diam terbungkam saja di kandangnya dan jarum jam di ruang tamu seperti malas berdetak ke detik berikutnya. Sekonyong-konyong terdengar derum mesin motor dan tak lama kemudian di depan pagar rumah, seorang kurir ekspres mencariku. Disodorkannya sebuah paket kirimanmu dengan diam, seolah-olah paketmu hendak bermonolog empat mata denganku. Paketmu berwarna coklat, sebuah kotak berukuran 16x25x12 cm, dengan berat sekitar 1,5 kilogram. Tidak ada keterangan apapun di lembar pengiriman kecuali namamu di kolom pengirim dan namaku sendiri di kolom penerima. Tak ubahnya tabiatmu, paketmu itu datang tiba-tiba tanpa surat sebelumnya ataupun telepon darimu.

Kejadian ini persis seperti peristiwa kedatanganmu beberapa tahun lalu ke rumahku. Satu hari kau muncul lalu mengetuk pintu rumahku, serta segera duduk berselonjor di sofa rumah, merokok batang demi batang dan terus bercerita tentang kemungkinan meletusnya perang baru di utara. Padahal kau tahu sendiri, aku masih berdiri melongo mendengar ceritamu hanya dengan handuk melilit di pinggang dan sisa odol di pipi kiri dan kananku. Namun itulah kau, seorang wartawan. Kau menuntut jawaban dan responku segera karena kau dikejar tenggat yang kini kau jadikan tuhan dan terus dimonitor redaktur pelaksanamu yang naik pangkatnya menjadi panglima perangmu. Sedang untuk kau sendiri, kau sebut wartawan sebagai prajurit tuhan. Astaga!

"Tolong tanda tangan di sini, Pak" pinta kurir itu padaku memecah termenungnya pagi.

"Dimana? Di pojok kanan ini?" Jari telunjukku mengarah ke bagian kanan bawah surat tanda terima kiriman. Ia mengangguk. Lalu kububuhkan tanda tanganku.

"Kau tahu apa isi paket ini?" tanyaku menyelidik.

"Dari nota kiriman hanya disebutkan isinya kamera."

"Kamera?" tanyaku heran.

Aku mencoba menimbang-nimbang paket itu dengan kedua tanganku. Sedikit kuguncang hanya untuk mengusir rasa curiga. Lalu kubuka sampul coklat paket itu. Cuma butuh waktu kurang dari tiga puluh detik, lalu jelas sudah isinya memang kameramu. Tapi kenapa?

Kutatap penuh heran ke kurir ekspres itu, lalu kutanyakan juga hal ini, "Darimana paket kiriman ini datang? "

"Dari utara, dari Aceh." Tak lama, kurir itu pergi meninggalkanku dengan serangkaian pertanyaan yang tak menemukan jawaban memuaskan. Sebuah paket kiriman dari Aceh. Kamera kesayanganmu dan tanda tanya besar di kepalaku. Pertanda apa ini semua sebenarnya? Apa betul kau di sana? Sedang apa? Apakah kau mati atau hidup? Apa kau tidak tahu itu di sana sedang perang? Apa kau tidak baca koran tentang penembakan misterius, pemboman, kuburan massal itu dan anak-anak kelaparan di tangsi pengungsian. Masya Allah! Jelas bagiku, semua ini berlebihan untuk diajukan sepagi ini.

* * *

"Hidup itu menyimpan perang-perang yang tersembunyi," katamu suatu kali.

"Perang apa? Kita tidak sedang dijajah bukan?" bantahku.

"Bagaimana tidak? Setiap hari kulihat orang berjuang untuk hidupnya, apalagi kalau bukan perang melawan kemiskinan. Lalu anak-anak sekolah yang menuntut ilmu itu, apalagi kalau bukan perang melawan kebodohan dan terus terang saja mereka berprestasi agar nantinya dapat mengalahkan teman-temannya nanti untuk mendapatkan pekerjaan yang layak? Dan kau yang setiap hari berpakaian necis ditambah dengan parfum wangi meski nantinya kau mandi keringat di dalam bus kota yang sesak di Jakarta! Jelas kau pergi untuk berperang!"

"Ngawur! Perang sama siapa? Sama bosku?" tanyaku geli.

"Perang dengan dirimu sendiri, itu pertama. Kedua, perang terhadap kecemasan akan nasib buruk yang kau hadapi setiap tanggal tua. Artinya, ada alasan finansial. Ketiga, perang terhadap tekanan sosial yang memojokkan semua pengangguran yang ada di seluruh muka bumi ini sebagai warga negara parasit dan termasuk sampah masyarakat. Keempat, kelima, dan keenam itu semua sama saja dengan perang," jelasmu penuh semangat.

"Kelihatannya terlalu ekstrim kalau kau sebut perang. Mungkin cukup kau sebut itu sebagai tanggungjawab," begitu usulku.

"Tidak tepat. Itu perang dan masing-masing kita sekarang ini sedang berperang."

"Lalu," giliranku bertanya lagi, "seorang wartawan, perangmu apa?"

"Mendahului waktu dan takdir zaman!"

Tampaknya selorohan waktu itu lebih diwarnai oleh idealisme tentang kerja-kerja jurnalis yang tak pernah lekang dari kepribadianmu.

Paket kirimanmu masih kuteliti. Barangkali ada yang tertinggal dari pengamatanku. Siapa tahu ada selembar surat atau potongan informasi tentang apa maksud semua ini dan apa yang terjadi padamu. Tapi itu semua berakhir dengan nol besar. Cuma ada kamera 35mm SLR semi-digital, masih lengkap dengan sebuah lensa 28-80 mm, tapi tanpa rol film sama sekali. Betul-betul hanya sebuah kamera standar untuk keperluan liputan. Namun semua orang di galeri tahu, kamera itu hidupmu. Kamera itu denyut nadi dan jantungmu bagi darah yang mengalir ke seluruh tubuhmu. Semua orang di kantormu tahu, kamera itu lubuk penuh ikan tempat kau memancing, kebun penuh buah-buahan masak dan ranum, dan lautan hangat berikut koral-koral indah yang pantas kau selami. Kamera itu juga kau jadikan batu loncatan untuk menjadi seorang Henri-Cartier Bresson, Boubat, Hilmar Fabel, James Nachtway dan sederet jurnalis fotografer yang keliling dunia untuk mengabadikan peristiwa-peristiwa penting di dalam sejarah. Itu semua aku tahu, karena aku satu-satunya temanmu.


* * *

"Kalau satu hari pecah perang di negeri ini, akulah orang pertama yang akan ada di garis depan."

"Mengapa begitu?" tanyaku.

"Suatu peristiwa akan terekam lebih baik bila aku lebih dekat dengan subyek. Cerita pun akan lebih memiliki makna," jawabmu.

"Apa jadinya kalau kau di sini saja, menulis semua beritamu dari bahan-bahan yang disediakan kantor berita dan mengambil foto dari orang lain atau agensi foto," tawarku.

"Aku lebih baik mati saja!"

Kau ungkapkan hal itu tatkala menjadi jelas bagi kami, peperangan di utara akhirnya meletus. Bagiku, kepergianmu ke Aceh sungguh dapat dimengerti. Bukankah katamu juga, kau hendak mendahului waktu dan takdir zaman dengan mengedepankan berita yang sesungguhnya tentang perang?

Sayangnya, antara kau dan aku memandang peperangan secara berbeda. Kalau bagimu peperangan itu begitu penuh sensasi dan gairah, bagiku perang tak lebih daripada sebuah pembenaran. Kukatakan ini kepadamu karena memang ia membenarkan kepentingan apa saja secara sistematis dan terencana untuk menutupi sesuatu yang salah dari awal-mulanya. Tidaklah benar kalau sekonyong-konyong kau sebut perang adalah sesuatu yang tak terbantahkan, tak dapat dicegah. Omong kosong saja itu! Perang jelas-jelas didukung oleh berbagai macam kepentingan dan jelas yang berlaku bukanlah hukum alam. Aku tak menyalahkan kepergianmu ke Aceh kalau itu memang yang terjadi. Hanya saja aku berharap berita-beritamu tentang perang Aceh itu janganlah seperti mengagung-agungkan kejayaan perang Troya, perang kemerdekaan segala bangsa, perang Sam Kok untuk menyatukan seluruh dataran Cina yang agung, perang Paderi, babad tanah Jawi, perang Iran-Irak, perang Irlandia-Inggris, pengeboman Inggris oleh pesawat-pesawat Nazi, pembantaian Khmer Merah, Vietnam, Kemelut Korea, perebutan penjara Bastille, dan sejumlah perang lain. Kalaupun kau ke sana, aku berharap kau menulis tentang kebobrokan dalam kemanusiaan kita karena ketidaktahuan kita akan doktrin-doktrin dan dogma-dogma yang mendukung peperangan.

Kalau kau ke Aceh hanya memberitakan dan memburu-buru kisah-kisah sensasional, bodoh! Betul-betul bodoh! Tak ada kata lain untukmu! Kau itu bodoh! Kau kejar-kejar semua peristiwa penuh sensasi itu hanya memuaskan nafsu tuhan dan panglima perangmu. Kau berguling-guling seperti tentara, masuk parit penuh lumpur bau, lalu mengendap-endap untuk mendapatkan bidikan tentang anggota GAM yang diberondong dari jauh oleh pasukan marinir hanya karena ia sedang bersembunyi di rawa-rawa. Kemudian kau bergegas lagi pergi ke wilayah Timur untuk mengikuti gerak pasukan mengepung markas dan pasukan GAM pimpinan Darwis Jeunib yang terjebak di kawasan perbukitan. Kalau kau di sini dan kau ceritakan semua hal itu padaku dengan dadamu yang membusung sombong, aku akan tertawa keras menertawakan kebodohanmu. Lalu kuhina-hina semua dogma tentang kebenaran obyektif yang kau usung-usung kemana-mana itu seperti KTP, dan berakhir dengan mengatakan kau adalah korban, korban suatu kebohongan yang busuk.

Namun alih-alih kau duduk menemaniku di sini sambil melihat liputan malam dan tontonan goyang Inul Daratista, malahan kau kirimkan kameramu itu padaku dan kau berharap aku bicara dengan kameramu tentang kosongnya isi kepalamu, jelas tidak mungkin kulakukan itu saat ini. Yang kini terjadi malahan aku mencemaskanmu. Rasa cemas itu semakin menjadi-jadi seiring gencarnya pemberitaan meluasnya wilayah peperangan dan dikirimkannya 15.000 pasukan tambahan ke utara. Beruntung aku kenal redaktur pelaksana harian tempatmu bekerja. Jadi kuhubungi ia lewat telepon genggam untuk mencari tahu tentang keberadaanmu.

"Apa benar, saat ini dia di Aceh?" tanyaku. Jawaban dari seberang sana melemaskan tempurung lututku. Aku gemetar takluk. Kudengar sendiri dari redaktur itu, kau memang minta dikirimkan ke Aceh karena kau mati kebosanan bekerja di belakang meja. Terakhir kali kau menghubungi redaksi dari Aceh Timur. Katamu, ada bom yang meledak di sana dan dari sana kau akan pergi ke utara karena ada korban anggota GAM yang ditemukan oleh warga. Selebihnya kau mau mengambil foto-foto kuburan massal yang mulai ditemukan di beberapa tempat. Juga mewawancarai beberapa warga yang mulai berani buka mulut tentang kekejaman yang terjadi sejak proses perundingan damai di Aceh hingga operasi keamanan saat ini. Katamu lagi korban-korban itu dari pihak warga yang tidak mau mengakui keberadaan GAM dan menolak membayar pajak perang. Namun, semua keterangan itu kudapatkan dari redakturmu. Bukan dari mulutmu sendiri.

"Maaf. Jadi dimana dia sekarang?" tanyaku lagi. Ia menjawab tidak tahu.

"Apakah ia masih hidup?" Lagi-lagi ia menjawab tidak tahu.

"Lalu apa maksud kiriman paket kamera ini ke saya?" tukasku.

Justru ia yang merasa heran. Lalu balik bertanya apa yang aku tahu. Kujawab bahwa aku tidak tahu apa-apa. Redaktur itu akhirnya memintaku untuk menunggu saja kabar selanjutnya. Pembicaraan terhenti. Tidak ada gunanya mengorek lebih lanjut. Tidak ada lagi yang bisa menjelaskan, kecuali paketmu. Sekali lagi kuteliti kirimanmu dan untuk kesekian kalinya aku tak menemukan apapun selain kecemasan panjang yang mencekik jantungku di kemudian hari.

Jakarta, April 2004


Senang membaca karyaku?
Dapatkan langsung ke alamat emailmu! Caranya mudah dan praktis. Cukup kirimkan email ke amangsworld, karya-karya ini akan dikirim langsung secara reguler.
  TagBoard Message Board
n a m e

i d e a (smilies)

 

Kreasi ini dilindungi oleh kesetiaan dan ketekunan, 
jadi mohon hargailah dengan layak dan sepantasnya.
Permohonan atas salinan puisi bisa disalurkan lewat email.

Copyrights © Amang's World 1992-2004