dunia kecil di belantara maya
ada di sudut kelokan jalan
dekat dapur peradaban

/depan
/indeks fragmen

/link
/isisitus

KESAKSIAN LELAKI YANG HILANG


SEORANG laki-laki dengan tangan terikat ke belakang tergopoh-gopoh berlari. Larinya tak lurus, sedikit terhuyung-huyung. Demikian ia berlari, terhuyung ke kiri atau ke kanan. Menabrak gerobak sayur di pojok jalan. Menyusur tembok bata. Ia menuju ke suatu tempat. Tempat yang hanya ia sendiri tahu di mana. 

"Aku harus lari. Jangan ke polisi. Itu sama saja bunuh diri! Aku harus lari! Lari dan terus berlari..," demikian ia lirih sendiri. Di tanah kebun yang becek ia terjerembab. Mukanya penuh lumpur dan tetes darah, tapi untung ikatan tangannya mulai terlepas sendiri.

Dor. "Jangan lari, kamu!" Wah, itu teriakan terdengar bagai petir. Lelaki itu bangkit berdiri dari jatuhnya dan menendang lari. Itu lelaki yang sedang berlari terlihat capai sekali. Ku berpapasan saat ia kemudian hilang di gang yang gelap. Belumlah tengokku habis, serombongan orang mendekat menghampiri.

"Mana dia? Orang lari? Jawab! Jangan bengong! Bego lo!" Aku panik menggeleng. "Ya sudah. Sana pergi!" Lalu salah seorang tendang pantatku dan aku menghindar pergi. 

Brengsek! Bukankah kamu juga akan sebal kalau mereka tanya-tanya seperti itu, semua serba dua kata, tahu-tahu diusir pergi. Cuma sebentar mereka datang, lalu pergi lagi secepat kedatangannya.

Sedikit cemas muncul di hatiku. Tertangkapkah ia? Semoga tidak. Karena dengan demikian gerakan pro-demokrasi yang tengah dirintis jauh-jauh hari ini tidak akan segera bubar lalu mati. 

"Pung! Sini!" 
Masya Allah! Itu dia. Benar itu dia. Alhamdullilah! "Tetap sembunyi," kodeku padanya.
Aku datangi ia yang memar lecet dan terluka di kepala. "Kita pergi ke belakang SD Negeri!" Tanganku menggeret ia, tapi ia tampak begitu lemah. "Ayo, tak ada waktu lagi" 

Kami berdua bergerak memintas pepohonan pisang, lalu tembus ke lapangan kecil dekat kebun belimbing dan sampai di belakang SD Negeri. Di sana ada tempat tersembunyi, tempat aku dan aktivis prodem lain menyimpan selebaran aksi.

"Kau di sini dan baiknya cepat aku beritahu yang lain tentang kamu. Aku yakin kamu baik dan tunggu aku sebentar. Itu gunakan handuk kami, bersihkan dirimu dan kita segera rapat malam ini." Aku keluar untuk menghubungi simpul kami.

* * *

"Kuputuskan untuk pergi dari organisasi ini," katanya lirih.

Apa? Aku naik pitam, tapi kawan di samping memintaku untuk sabar. Reaksi kawan-kawan beragam, tapi memang putusannya amat mengejutkan.

"Tak tahu berapa hari aku disiksa, Pung! Itu yang ada hanya gelap. Kawan-kawan lain juga ada satu dua. Beberapa aku kenal, tapi lainnya hanya kutahu suaranya. Neraka, pikirku, aku pasti sudah masuk neraka... dan orang itu datang setiap kali untuk menyiksa. Satu kali kukuku ditarik, lain kali disetrum, ditendang dan disuruh mengaku. Aku ingat ibu. Aku ingat adikku. Aku takut, takut mati, Pung!"
Kataku, "Kau hilang tiga hari."
Ia menatapku tak percaya, "Tapi di dalam sana terasa seperti sepuluh hari atau lebih. Aku bingung dan frustasi. Tak pernah kubayangkan akan seperti ini, begitu pula kau, Pung! Jujurlah, kita tak pernah sampai pada situasi ini sebelumnya."
"Benar, tapi bukan berarti kita tak menyadari."
"Sekali lagi aku ingat. Tak lama setelah aksi di jalan raya dengan para petani dan buruh, aku dicegat di dekat Cikini. Mulutku dibekap, tangan mereka menekan pistol ke perutku... lalu mereka perintahkan 'jalan, bego!' dan aku dipukuli sampai pingsan. Apa salahku, Pung?"
"Revolusi selalu memakan anak sendiri. Ini resiko yang harus kita hadapi," jawabku diplomatis. "Sebagai bagian perangkat aksi, sudah kewajiban kita untuk sadar tanggungjawab ini. Kamu tersiksa, aku mengerti. Kamu trauma, aku solider. Kamu takut? Ini kami, kawan-kawanmu, yang bersama-sama kita bangun simpul kader ini untuk bisa menumbangkan tirani. Ayo, jangan bersedih."
"Tidak bisa, Pung. Aku mengaku kalah."

* * *

Lelaki yang dulu hilang itu kutemui lagi belum lama ini. Masih gemetar ia, takut bertemu orang-orang asing. Padahal kita berada di suatu lapangan terbuka dan pagar gedung DPR sudah kita dobrak. Di sana-sini terdengar berbagai elemen aksi, berebut mikrofon hendak menyampaikan orasi. "Hari ini hari kemenangan rakyat. Hari ini tirani yang kejam dikalahkan."

Satu-dua kawan berjabatan, seperti layaknya hari pembebasan dan semua film dokumenter tentang pergerakan rasanya kalah dibandingkan keharuan di hari ini. Kuhampiri lelaki yang dulu hilang itu dan kupeluk ia. "Hari ini kita menang dan hari ini akan terus kita kenang."

Kami menangis. Kami tak mampu lagi berucap, selain senguk haru yang melingkupi.

Australia, 1999

 

Kreasi ini dilindungi oleh kesetiaan dan ketekunan, 
jadi mohon hargailah dengan layak dan sepantasnya.
Permohonan atas salinan puisi bisa disalurkan lewat email.
Amang's World @ 2003