dunia kecil di belantara maya
ada di sudut kelokan jalan
dekat dapur peradaban

/depan
/indeks esai

/link
/isisitus

TENTANG PERANG DAN BLUES

SEMBILAN puluh sembilan persen dari seluruh mahluk hidup ternyata tidak suka terlibat dalam perang. Sisanya tinggal para pengusaha bisnis senjata, jurnalis, anak-anak yang ketagihan main indian-koboi, sedikit penggemar Counter Strike, burung-burung nazar, dan belatung yang menjadi pendukung setia peperangan. Namun dari mereka ini yang betul-betul serius menyukai peperangan adalah para pengusaha bisnis senjata. Darimana para pengusaha bisnis senjata ini melandaskan kegiatan ekonomi mereka? Tentu saja dari riwayat manusia (yang notabene 99% tidak suka terlibat dalam perang) untuk terus merendahkan dan menindas sesama serta ketidakmampuan kita untuk menghargai kebebasan dengan selayaknya. Masa sih?

Dari riwayat manusia ternyata ketahuan bahwa perilaku agresif kita termanifestasi dalam bentuk dominasi terhadap sesama. Manusia adalah para pelaku "bellum contra omnes". Perang telah menjadi aktivitas ekstatis manusia seperti halnya olahraga dan seks. Orang akan selalu menemukan berbagai alasan yang baik untuk menjalankan perang dan kita akan selalu: menginginkan wilayah dan sumber-sumber, mengalahkan musuh dan saingan kita, dan lain-lain.

Meskipun begitu, tampaknya nafsu membunuh sepertinya bukan bagian dari insting alami manusia. Banyak tentara di berbagai perang tidak menembakkan senjatanya atau menembak ke arah kepala musuhnya. David Grossman, yang mempelajari sejarah perang dari bukti-bukti empiris, menilai bahwa sejarah peperangan memanglah suatu pengkondisian para prajurit untuk mengatasi "penolakan suara hati manusia untuk membunuh sesamanya". Dengan meningkatkan metode pelatihan di kamp, Tentara AS sukses dalam menciptakan prajurit GI yang lebih efisien untuk membunuh di Vietnam dibandingkan dengan generasi sebelumnya yang ikut dalam Perang Dunia Kedua. Tapi tetap saja ada konsekuensi berat yaitu stres pasca perang yang terkait erat dengan tingkat dan rasio musuh yang dibunuh oleh prajurit tersebut.

Dengan perkecualian dua persen populasi para prajurit yang doyan membunuh tanpa emosi, kebanyakan prajurit tidak ingin membunuh dan akhirnya menderita secara mental akibat perang. Kalaupun ada golongan mereka yang suka membunuh dan mendesain agar terjadinya perang --seperti yang dimiliki oleh para pedagang senjata itu-- ada yang berpendapat itu merupakan sisa-sisa dari gen-gen manusia yang hidup di zaman primitif dulu. Nenek moyang kita memang hidup dari berburu binatang, tapi jika gen manusia membuat kita menjadi pemburu, mengapa kita sangat tidak suka terhadap pembunuhan?

Relasi yang ambivalen antara hasrat masa lalu manusia sebagai pemburu dan ketidaksukaan kita terhadap pembunuhan sebenarnya berakar pada pengalaman represi yang telah diatasi manusia: lemah menghadapi ancaman dari luar. Perjalanan manusia sebagai mahluk yang penakut dan lemah masih mewarnai hingga hari ini, bersamaan dengan transisi manusia menjadi mahluk predator yang paling kejam. Selama milenia ini, manusia telah naik posisi dari rantai makanan terendah --sebagai korban-- menjadi predator di posisi tertinggi.

Dengan mempermainkan emosi ketakutan di masa lalu dan citra baru manusia sebagai predator, perang di mata para pedagang senjata dan para pendukungnya memberikan masa depan yang cerah. Di era sekarang ini, suatu negara akan merasa aman kalau negerinya mampu mengembangkan suatu sistem persenjataan nuklir yang canggih.

Oleh Philippe Delmas, seorang analis militer dan ekonomi Perancis, hal ini terjadi karena hancurnya sistem politik internasional. Perlombaan memiliki senjata nuklir, sebetulnya bukan barang baru. Sewaktu blok Barat dan Timur bersaing, di tahun 1946 baru ada sekitar 9 senjata nuklir, tapi empat puluh tahun kemudian sudah ada lebih dari 60.000 senjata nuklir yang siap diluncurkan. Memang lambat laun, seiring dengan runtuhnya Soviet di Blok Timur, ada niatan untuk melucuti jumlah senjata nuklir ini. Di tahun 2003, setiap blok akan mengurangi hingga 85% dari jumlah senjata nuklir di tahun 1986. Namun bukan berarti senjata-senjata itu lenyap, karena masing-masing blok tetap mempertahankan 3.500 hulu ledak nuklir --hanya untuk menjamin keamanan negerinya-- yang setara dengan 440 pon TNT untuk setiap insan manusia yang ada di dunia ini.

Perlombaan senjata nuklir yang kini berpindah ke India dan Pakistan, lalu Korea Utara, seperti virus ganas dan berpindah-pindah seiring dengan semakin bobroknya sistem politik internasional. Masing-masing negeri yang dulunya diperkuat oleh suatu opini akan adanya "musuh bersama" kini harus berhadapan dengan ancaman yang datangnya dari dalam negeri atau negeri tetangga sejak hilangnya negeri superpower yang dulu melindungi mereka. Globalisasi ekonomi-teknologi dan peranan lembaga internasional bukanlah jawaban untuk menggantikan ketertiban politik internasional. Bahwa perdagangan bebas akhirnya bisa menyatukan bangsa-bangsa di dunia, itu cuma ilusi belaka! Globalisasi akan menggerogoti kedaulatan ekonomi suatu negeri dan oleh karenanya hanya akan melemahkan stabilitas dan legitimasi banyak negeri.

Menghadapi ketidakstabilan negeri-negeri akibat melemahnya sistem perlindungan dan ikatan perjanjian di antara para bangsa, perdagangan senjata dan hasrat untuk mendominasi seperti gayung bersambut. Perang telah memiliterisasikan laki-laki dan laki-laki telah memiliterisasikan rutinitas kehidupan sehari-hari. Kehidupan militer telah merembes ke dalam wilayah-wilayah publik dan mengubah kehidupan menjadi operasi strategi yang penuh komando dan disiplin. Nyatanya, laki-laki akhirnya memindahkan medan peperangan yang brutal ke dalam kehidupan sehari-hari --bahkan di masa damai sekalipun. Prospek membisniskan perang sepertinya akan sangat menguntungkan.

Lalu bagaimana caranya menghubungkan antara perang dan blues ini? Antara hasrat untuk menjadi predator dengan musik melankolis yang lahir dari kultur perbudakan? Antara yang brutal dengan yang spiritual? Einrich --seoranng antropolog pengamat militer-- secara serius mempertanyakan sikap manusia untuk berdoa sebelum perang atau mengatasnamakan peperangan yang jalani sebagai jalan yang diridhoi. Sakralisasi perang seolah-olah telah memberi legitimasi legal bagi seseorang untuk mencabut nyawa orang lain di hadapan Allah yang mahapengampun. Sakralisasi perilaku brutal itu seolah-olah sudah menemukan kata maaf jauh sebelum pembunuhan terjadi. Artinya, kata Einrich, perang adalah suatu ritual yang sakral. __Astaga!

Tentu saja, hal ini berseberangan dengan blues. Meskipun ada sakralisasi pada blues, yang mengangkat spiritualisasi orang-orang yang mengalami perbudakan di delta AS, blues yang sarat kesedihan, penderitaan akhirnya tertuju untuk menyanyikan bahwa mereka sungguh-sungguh frustasi akan kehidupan yang bobrok dan butuh perlindungan. Musik mereka menyuarakan jeritan hati, musik mereka memiliki makna. Kesepian, marah, kekecewaan, tapi seringkali juga musik mereka berisi harapan akan pembebasan. Spiritualisasi yang mereka masukkan dalam nyanyian blues seperti kisah-kisahan pembebasan oleh Nabi Musa, Samson dan Delilah, hingga kisah nabi Daud dan Goliath. Akhirnya, blues yang melankolis pada akhirnya membebaskan mereka --paling tidak dari rasa ketakutan yang mereka alami.

Jakarta, 2003
Catatan: Sebagian kecil dari tulisan ini dikonsep sejak 1999, saat perdagangan senjata genggam ke kalangan rakyat sipil mulai dikenal. Di sela hiruk-pikuk berita tentang demonstrasi dan kekecewaan banyak orang, musik blues tetap lancar dikumandangkan dari stasiun radio M-97 di jalan Borobudur.

Kreasi ini dilindungi oleh kesetiaan dan ketekunan, 
jadi mohon hargailah dengan layak dan sepantasnya.
Permohonan atas salinan puisi bisa disalurkan lewat email.
Amang's World @ 2003