dunia kecil di belantara maya
ada di sudut kelokan jalan
dekat dapur peradaban

/depan
/indeks esai

/link
/isisitus

TENTANG KEKEKALAN

POHON belimbing yang biasa kujadikan "pohon bodhi" tiba-tiba jadi layu di suatu pagi, daunnya menguning dan nyaris mati. Padahal rajin olehku ia kusiram, juga oleh hujan yang kerap turun di bulan November. Aku hampir kehilangan. Kehilangan, seolah kata-kata itu kembali muncul dalam kosa kata yang tertimbun cukup lama. Yang semula rimbun menjadi cabang kering, yang semula ada menjadi tiada.

Lalu kutanya kepadamu tentang kekekalan. Kamu menggelengkan kepala saja. Mungkin jawabmu berarti "tidak ada" atau "tidak tahu". Kalau hal yang sama kau tanyakan kepadaku, aku mau menjawabnya: "ada". Bahwa ada yang kekal di dalam kehidupan ini dan kekekalan itu bukan semacam lirik yang tanpa makna.

Saat denyut jantung ayahku terhenti ketika kugenggam erat tangannya atau saat ibuku di Jumat sore tiba-tiba jatuh dan dari kepalanya keluar darah segar, kekekalan menjadi suatu pertanyaan yang substansial untuk diajukan. Secara esensi, kekekalan bertolak belakang dengan sifat mortal kemahlukhidupan, baik itu tumbuhan di hutan tropis hingga padang tundra, binatang bersel satu hingga banyak, serta dari homo australopithecus yang mirip kera primat itu hingga homo sapiens yang berjalan tegak seperti kebanyakan kita. Dengan cepat kekekalan menjadi sesumbar basi dari setiap dogma agama yang mengajarkan bahwa kekekalan itu ada, nyata, dan terjangkau. Namun agaknya terlalu cepat hal ini disimpulkan, bukankah begitu?

Akan halnya pohon bodhiku (pohon belimbing) mulai menampakkan tunas-tunas muda di setiap rantingnya, sejak kurawat dan kuperhatikan lebih daripada biasanya. Begitupula kerdip mata ibuku yang setiap kali bergerak pelan tanda-tanda kepulihan. Lalu serta-merta krisis yang terjadi di dalam hidup mendorong terjadinya loncatan pemahaman akan kekekalan yang sebelumnya tak pernah kugubris dan hiraukan.

Aku sedang membicarakan tentang kekekalan harapan. Harapan kehidupan yang kutitipkan pada tunas daun muda, pada aliran infus Asering yang mengalir pada vena, pada ilmu kedokteran modern, pada kebaikan dan tegur semangat dari teman-teman, terlebih pada kemanusiaan kita. Bahwa di setiap situasi yang depresif setiapkali kulihat aspek kekejaman dari kemanusiaan kita yang terjebak pada hasrat menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus) dan keinginan untuk 'berperang melawan sesama', aku melihat harapan tak pernah memupus dari tarikan nafas kita. Harapan itu ada, nyata, dan terjangkau, tinggal bagaimana kita mempercayainya.

Depok, 15 November 2003
Gedung E-203 jam 09:40

Kreasi ini dilindungi oleh kesetiaan dan ketekunan, 
jadi mohon hargailah dengan layak dan sepantasnya.
Permohonan atas salinan puisi bisa disalurkan lewat email.
Amang's World @ 2003