dunia kecil di belantara maya
ada di sudut kelokan jalan
dekat dapur peradaban

/depan
/indeks esai

/link
/isisitus

TENTANG SARACEN

SEHARUSNYA kita malu sebagai bangsa. Selain karena tidak ada satupun para pemimpin yang tidak korup dan mau memperjuangkan nasib masyarakat, kita memiliki tentara yang tidak mampu melindungi negeri ini dari musuh, tetapi malah menyengsarakan warganya sendiri. Jauh-jauh kameraman itu, Arie Wailan Orah, pergi ke Aceh untuk meliput peperangan yang tak kunjung usai, akhirnya ia meninggal. Bukan karena terkena serangan mortir, bukan karena berondongan M-16 yang dicuri justru dari gudang TNI sendiri. Amit-amit, Arie meninggal karena panser Saracen itu patah as rodanya dan jatuh terguling ke jurang. Lalu buru-buru kita baca di koran tentang pembelaan juru bicara tentara yang mengatakan itu semua karena tentara tidak punya dana yang memadai. _Nonsens!

Seharusnya kita menjadi bangsa yang jujur. Semua tahu, anggaran belanja tentara negeri ini jauh lebih besar dari kepentingan yang lain. Bahkan untuk anggaran pendidikan --semua pasti sepakat bahwa pendidikan itu penting kan?-- cuma dikuota kurang dari sepuluh persen. Lalu semua yayasan milik tentara itu yang memiliki gedung-gedung mewah dan dimaksudkan untuk mensejahterakan prajurit (atau hanya petinggi-petingginya saja) serta oleh karenanya mendapat sejumlah besar kemudahan dalam hal izin, pajak, dan lain sebagainya, apa juga masih kurang? Barangkali kita memang dikenal sebagai bangsa yang murah hati, tapi tak bisakah kita menjadi juga bangsa yang bijaksana?

Seharusnya kita melihat lagi peperangan di beberapa tempat di negeri ini. Tanggal 22 November 1975 yang dijadikan hari penting pernyataan kemerdekaan Republik Demokratik Timor Leste. Tahu-tahu selang 9 hari kemudian, tentara kita yang bersandi Operasi Seroja menganeksasi dan mengumumkan keberhasilannya mengusir kaum "komunis". Apa jadinya setelah sekian tahun kemudian? Di tahun 1999, Timor Leste mengadakan referendum dan keberadaan Indonesia yang menjadikan Timor Leste sebagai provinsi ke-27 negeri ini cuma jadi bahan banyolan semua orang di dunia. Kita boleh saja terus-terusan punya pembelaan, tetapi lihatlah bagaimana Indonesia di berbagai film dan diskusi di luar negeri dijadikan olok-olok yang menjijikkan.

Lalu peperangan di Aceh, sebenarnya tentara melawan separatisme yang bagaimana? Dari dulu kita hanya dicekoki dengan adanya kaum separatis, tetapi wajah dan skala operasi mereka sama sekali tidak kita ketahui. Seolah-olah kita disodori suatu peperangan yang vulgar dari sisi kekerasan, tetapi "tersembunyi" dari rasionalitas mengapa peperangan ini perlu dilakukan. Tidak ada pembuktian yang memadai dan dasar-dasar yang cukup rasional dari operasi besar-besaran yang menelan hampir setengah dari dana pemerintahan saat ini. Semua itu apakah dilandasi karena sifat nasionalisme kita yang dibangun atas todongan senjata tentara dan bukan dibangun atas dasar pendidikan dan kesadaran berbangsa?

Idealisasi ini membunuhku, teman-temanku, dan melahirkan sejumlah besar kekecewaan di generasi yang dulu melewatkan masa-masa mudanya berdemonstrasi di jalanan. Buru-buru ada yang menulis tentang kegagalan republik ini, mempertanyakan masa depannya, meragukan visi dan misinya, dan meramalkan keabsurditasannya. Yang lain berperilaku tak perduli, karena memang tidak perlu untuk dipikirkan sama sekali. Namun ada juga yang menderita SARS (Sindrom Akut Rindu Suharto). Macam-macam bagaimana orang memandang apa yang seharusnya dan apa yang tidak, bukankah demikian?

Tapi tentang peperangan di Aceh, aku tetap berpendapat itu hanyalah pembenaran atas kepentingan apa saja, termasuk ekonomi minyak, agenda sosial-demokrat, militerisasi, gelombang "globalisasi" atau bahkan sakit syahwat. Dan yang namanya pembenaran itu tentu saja dilakukan secara sistematis dan terencana untuk menutupi sesuatu yang salah dari awal-mulanya. Perang ini menjadi tradisi yang bobrok dari tahun ke tahun yang entah mengapa mau saja kita pelihara seolah-olah tanpa peperangan, bangsa ini bukanlah bangsa yang bermartabat. Itu adalah hal yang tidak dapat dibenarkan dan betul-betul keliru.

Jakarta, 28 November 2003

Kreasi ini dilindungi oleh kesetiaan dan ketekunan, 
jadi mohon hargailah dengan layak dan sepantasnya.
Permohonan atas salinan puisi bisa disalurkan lewat email.
Amang's World @ 2003