Amang's World | dunia kecil di belantara maya | ada di sudut kelokan jalan | dekat dapur peradaban

 
The Contents
/depan
/buku
/cerpen
/esai+surat
/foto+film
/fragmen
/puisi
/sobatpena
 
Behind This Site
/links
/sitemap
 
Message of the day
"I never thought I'd be so happy to be a virgin!" (dari: Scream, 1996)
 
TENTANG INDONESIA KINI

MENJELANG pergantian tahun keempat dari tahun-tahun awal abad keduapuluhsatu, -- saat dimana musuh kemanusiaan adalah peperangan yang keji antara Negara adikuasa Amerika Serikat dengan negeri-negeri yang dituding seenak hatinya sebagai teroris, tanpa kecuali negeri nusantara ini, Indonesia, sebagai ladang lahirnya teroris di Asia Tenggara -- aku menuliskan kegelisahan yang akut dan selalu menjadi hantu pencekik malam-malam panjang. Sebuah kegelisahan akan dunia di sekelilingku, kecemasan akan bangsa penghuni bumi dan kengerian melihat hilangnya kemanusiaan demi nafas kehidupan manusia modern. Raungan dan lolongan kegelisahan itu menjerit di dalam rongga dada, menyesakkan tarikan nafas, membangkitkan mimpi-mimpi buruk yang menyeramkan. Kegelisahan itu mencekik laksana sayatan pisau tajam: mengapa dunia tak kunjung menjadi lebih baik? Mengapa harus berperang jika cita-cita perdamaian lazim ditemukan pada semua dasar Negara?

Bukankah sudah kita lewati masa-masa kolonialisme Eropa? Bukankah negeri-negeri baru telah lahir di Asia dan juga Afrika, yang berjuang untuk martabat dan hak yang sama di hadapan hukum dengan bangsa-bangsa Eropa yang menindasnya? Bukankah pemimpin-pemimpin yang zalim juga sudah dienyahkan dari muka bumi ini, termasuk sejumlah monster yang memerintahkan genosida-genosida rasis semisal anti Yahudi, anti Serbia-Herzegovina, anti Tutsi, dan sebagainya? Pada mereka telah kita tegakkan keadilan meski kita tahu hal itu tidak akan mengembalikan jutaan manusia yang mati mengenaskan sebagai korban kebiadaban.

Memang tidak semua monster kejam dan sadis itu mendapatkan ganjaran. Di Kamboja, Pol Pot lolos dari jeratan hukum karena pembinasaan setengah rakyat Kamboja oleh pasukan Khmer Merah. Di negeri inipun, masih hidup pemimpin pasukan pembunuuh yang berlindung dari keadilan dengan cara membeli keadilan dengan uang. Uang yang banyak tak hanya membeli jaksa, hakim, dan hukum, tetapi sebuah negara plus para penghuninya sekaligus. Dan inilah yang terjadi di dekat kita, di negeri ini, seorang pemimpin yang membunuh lebih dari dua juta rakyatnya sendiri masih bebas laksana merpati. Mengapa yang demikian itu masih terjadi? Apakah tidak kunjung jua manusia belajar dari sejarahnya sendiri?

Mengenai negeri ini pula masih tak kunjung habis keheranan ditujukan. Sudah seratus tahun lalu, pergerakan nasional Hindia Belanda dimulai. Dirintis oleh individu-individu modern yang percaya pada kekuatan sendiri untuk mengangkat harkat dan derajat dirinya sendiri di depan orang-orang Eropa kolonial. Mari kusebut nama-nama mereka: Tirto Adhi Soerjo, Marco Kartodikromo, Tjipto Mangoenkoesoemo. Mereka pula yang menanamkan langkah pijakan organisasi modern, cikal bakal nasionalisme negeri ini. Kekuatan kaum borjuis dan kaum petani Samin mampu memberi perlawanan telak kepada pemerintah kolonialis lewat jalan pendidikan dan boikot. Mereka telah meninggalkan cara-cara perjuangan sporadis bersenjata yang digunakan oleh para pendahulunya: Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dhien, Pattimura, dll.

Individu-individu modern itulah juga yang melahirkan organisasi modern dan organisasi modern menghasilkan masyarakat modern yang merdeka, mandiri, dan demokratis. Akhirnya setelah 40 tahun, negeri ini menggapai hasil awalnya, yakni menjejakkan kaki di gerbang kemerdekaan suatu nasion baru: Indonesia.

Empat puluh tahun dari kemerdekaan, negeri ini dikenal mahsyur akan kemajuan pembangunan. Gedung-gedung tinggi dan jalan-jalan raya lebar dibangun, tapi sayang prinsip modernisasi ini cuma ada di permukaan. Kemerdekaan yang didengung-dengungkan dikubur bersamaan dengan deretan buldoser yang meratakan hutan-rimba, lalu menciptakan iklim kapitalisme yang subur dengan tabiat-tabiat konsumeristik. Masyarakat bergerak sendiri melepaskan diri dari pemerintah yang korup. Pemerintah terus melanjutkan tradisi hirarki pangreh praja. Senantiasa ada jarak yang abadi antara penguasa dan rakyatnya. Hal itu terjadi hingga lebih dari sepuluh tahun.

Kesenjangan terus melebar, korupsi menjadi kebiasaan, dan semakin jauh bangsa ini dari semangat mulianya: adil dan beradab. Bahkan dalam kurun waktu itu, perang dan pembinasaan dilakukan atas bangsa Aceh, Papua, dan orang-orang Timor Leste. Para prajurit militer yang didanai pajak bangsa negeri dikirim untuk membinasakan sesama warganya sendiri. Nasionalisme ini kali ditegakkan di bawah todongan senjata, bukan atas dasar pendidikan dan dialog.

Masyarakat diiming-imingi kemewahan dan kemakmuran, dengan syarat mau bungkam tak bicara tentang keadilan dan keberadaban. Nasionalisme akhirnya melulu bicara tentang kewilayahan, pulau-pulau yang centang-perentang dari Sabang sampai Merauke, sementara tak bicara tentang manusianya. Sejarah pun hanya mengelu-elukan bagaimana pulau-pulau itu disatukan dengan spirit kerajaan Majapahit, namun lagi-lagi tak pernah kita bicara tentang manusianya. Nasionalisme tak pernah lagi menyentuh tentang individu-individu modern apa yang hidup di dalam nasion ini. Akhirnya nasionalisme yang dikembangkan dengan senjata hanya melahirkan bangsa ternak yang tak mampu mengorganisir diri, tidak bicara tentang keadilan dan keberadaban, dan selalu meributkan soal makanan, makanan, dan makanan: seolah-olah kebutuhan hidup bangsa ini hanya makanan saja. Sekali-kali tidaklah demikian! Manusia modern membutuhkan hak hidupnya: hak untuk berpartisipasi, hak untuk berkumpul dan berserikat, hak untuk bebas dari rasa takut. Statuta internasional sudah mengakui hak-hak tadi sebagai hak asasi manusia. Jadi omong-kosong saja semua celotehan tentang nasi. Bangsa ini membutuhkan cita-citanya lagi: dengan daya upaya sendiri mengangkat harkat dan derajatnya setara dengan bangsa-bangsa lain! Maka, agungkanlah keadilan dan keberadaban!

Memang mudah menuliskan semua ini, pastilah itu kesanmu. Tapi kutuliskan ini semua sebagai sebuah memorabilia, seandainya aku, kau, atau temanmu lupa. Kalau ingat, bersyukurlah! Ternyata masih banyak orang yang peduli pada bangsanya.

Jakarta, Februari 2004


Senang membaca karyaku?
Dapatkan langsung ke alamat emailmu! Caranya mudah dan praktis. Cukup kirimkan email ke amangsworld, karya-karya ini akan dikirim langsung secara reguler.
  TagBoard Message Board
n a m e

i d e a (smilies)

 

Kreasi ini dilindungi oleh kesetiaan dan ketekunan, 
jadi mohon hargailah dengan layak dan sepantasnya.
Permohonan atas salinan puisi bisa disalurkan lewat email.

Copyrights © Amang's World 1992-2004