dunia kecil di belantara maya
ada di sudut kelokan jalan
dekat dapur peradaban

/depan
/indeks esai

/link
/isisitus

CATATAN DARI DALAM KERETA

1.

Di kereta, tangisan adalah komoditi. Anak-anak terlahir sebagai peminta-minta. Dalam bisnis belas-kasihan ini, menangis adalah menggerakkan hati si konsumen dengan menyodorkan segala hal yang menyimbolkan kemiskinan, rasa lapar, dan ketiadaan harapan.

Dari wajah mereka hanya ada lukisan tentang kemiskinan dan hal itu nyata. Penderitaan bukan sesuatu yang hidup di alam cyber. Sungguhpun harus aku akui kemiskinan bukan milikku. Dan di dalam kereta ini, fase hidup yang paradoksal dimulai.

Batas antara kebutuhan dan kelaparan tak lagi mudah dipisahkan. Bagi kami, penganut Keretaisme, kehidupan hanyalah jendela terakhir untuk melihat kematian. 


2.

-Apakah yang sungguh-sungguh dibutuhkan manusia dalam hidupnya? Darimana kebahagiaan berawal? Tak pernah kuduga, jawabnya kutemui di dalam kereta.-

Tiga orang perempuan muda naik ke atas angkot dan mulai berbincang tentang bos mereka. Bahwa si A yang masih muda, gagah, punya istri dan tiga anak yang kecil-kecil. Dan ia tersenyum dan selalu ceria. Katanya, "Buat apa harus sedih? Aku sudah beristri, anak-anak, dan uang?" Kebahagiaan bagi penjual terhb botol terlukis dari canda mereka saat menjaja dagangan kesana-kemari. Kebahagiaan bagi ibu dan anaknya di sebelahku adalah belanja jagung super murah dengan "memaksa" si penjual jagung mengobral jagung rebusnya murah-murah. Si anak bahagia dengan jagung rebus hangat di tangannya. Kebahagiaan bagi sejoli berkaus kuning di seberang sana adalah kebersamaan mereka di kereta saat hujan dingin seperti sekarang ini. Namun, sekali lagi semua orang hidup dalam kegelisahan akan hari esok.


3.

Sekali lagi setelah penat bekerja di Bogor, aku duduk bersama mereka: para manusia kereta. Tak ada yang berubah. Kemiskinan yang sempat kuutarakan kepadamu masih tetap ada. Aura kegelisahan mengembang setiap kali kutatap satu demi satu wajah-wajah mereka. Ya, setiap kali aku sedih karena selalu berharap keadaan akan lebih berbeda kali ini. Kemiskinan di sini hadir tanpa selungkup egoisme.

Haruskah aku bercerita kepadamu tentang anak kecil yang menjaja tangisnya padamu kembali? Haruskah aku bercerita tentang lelaki tua yang duduk tanpa mimik muka di kursi seberang sana? Rasanya bersalah kalau aku merasa bahagia. Rasanya berdosa kalau aku terbahak-bahak dalam gelak tawa.

Aku selalu ingin bertanya pada mereka yang bahagia dan tertawa-tawa, tidakkah mereka rasakan kepahitan dan kegetiran itu? Tapi aku diam, karena kupikir tanyaku 'kan percuma. 

Barangkali tawa mereka hanyalah kompensasi dari kesengsaraan ini. Barangkali tanya ini hanyalah pertanyaan seorang yang naif terhadap ketidakadilan.


4.

Hujan kerap dianggap berkah. Tapi kali ini tak lagi demikian. Air yang masuk dari jendela dan pintu kereta yang macet membasahi kami. Angin menerpa tubuh-tubuh rapuh yang digerogoti kemiskinan.

Namun aku tak menggeser tubuhku. Kubiarkan hujan deras menerpaku. Anginnya menghempas keras ke wajah dan tubuhku. Teramat dingin dan menyakitkan. Tapi sakitnya hanya sementara, selebihnya aku pedih karena tak mampu mengubah kemiskinan dan kegelisahan di sekitarku, yang hinggap di tubuh mereka: para manusia kereta.

Bogor-Jakarta, September 1998
di dalam KRL Listrik 

 

Kreasi ini dilindungi oleh kesetiaan dan ketekunan, 
jadi mohon hargailah dengan layak dan sepantasnya.
Permohonan atas salinan puisi bisa disalurkan lewat email.
Amang's World - 2001-2003