dunia kecil di belantara maya
ada di sudut kelokan jalan
dekat dapur peradaban

/depan
/indeks fragmen

/link
/isisitus

YANG BERDIRI DI ATAS PUNCAK GUNUNG

B A B A K 1

(Layar dibuka. Lalu terlihat seorang lelaki berdiri sambil mengepalkan tangan ke langit.)

LAKI-LAKI
"Aku berdiri di puncak gunung karang. Berkacak pinggang menantang Matahari."

(Tangan laki-laki itu mengacung dengan marah.)

LAKI-LAKI
"Mengapa kau hadirkan siang bagiku? Tak cukupkah kau lihat keringnya telagaku maha dahagaku telah sempurna menjelma jadi jerit tertahan di siang terik panjang?"

LAKI-LAKI
"Ingatkah kau, telaga ini kubangun dengan dayaku
Kutampung dari berpuluh-puluh anak sungai hingga di lembahku 
mereka bermuara. Ternakku, ya Matahari, hidup dan beranak-cucu 
daripadanya. Begitupun aku, kuharap kelak keturunanku beranak-pinak adanya. Tapi kenapa kau hirup habis telagaku?"

LAKI-LAKI
"Telaga ini belahan jiwaku. Kubuat ia dari butir peluh tubuhku.
Tepiannya kutanami bunga agar kelak bisa kurangkai hiasan bunga terindah di dunia. Di airnya, kutebarkan benih ikan agar mereka mengisinya dengan cinta. Tapi kau renggut itu dariku. Kau rampas ia dari sisiku. Kau hirup keperawanannya selagi aku tertidur pulas dibuai angin."

LAKI-LAKI
"Kau telah menghabisiku. Habis luluh tak bersendi aku berdiri di sini. Memintamu menjawab apa maksud dan maumu? Mengapa sinarmu begitu kejam sedangkan aku tak pernah menyakiti hatimu? Mengapa kau sirnakan belahan jiwaku dengan hawa panasmu itu hingga mendidihkan ikan-ikanku dan melayukan bunga-bungaku?"

(Tangan laki-laki itu tak lagi mengacung marah.) 

LAKI-LAKI
"Ragaku tak lagi kuat menopang berdiri. Hatiku menangis. Meraung. Mengerang dalam dendam. Mengaduh pilu. Sementara Matahari ada di titik kulminasi. Membakar. Gunung karang 
ibarat bara api dalam panggangan. Tak ada angin. Dunia berada dalam diam."

(Laki-laki itu menangis. Tangisnya yang jatuh satu per satu. Belum lagi sempat menyentuh tanah, tangisnya kering menguap. Hingga pada suatu saat, tak ada lagi tetes tangis. Tak ada lagi acungan kemarahan. Ia bertelungkup. Ia meraung.)

LAKI-LAKI
"Oh, gunung karang. Ingin aku seperti dirimu. Tak mudah ditaklukkan oleh Matahari yang kejam. Kau berdiri di sini tanpa beban. Diammu telah kusaksikan sejak aku bayi dalam kandungan. Barangkali ayah dari ayahku pun telah melihat pasrahmu dalam kebungkaman sempurna ini."

LAKI-LAKI
"Telah kusaksikan sudah beribu orang mencoba mendakimu. Ingin membuktikan bisa menaklukkanmu atau sekedar berdiri di sini menatap luas lembah di titik cakrawala sana. Tapi tak ada yang naik ke sini dengan membawa api hitam kental seperti diriku. Kau lihat sudah amarahku pada Matahari. Kau cermati sudah hatiku yang terkoyak tenggelam sirna dalam duka.

Kau pandangi aku dengan seksama, tapi tak malu kau dekap aku hari ini. Tak enggan kau hibur diriku dengan nyanyian karang laut beribu-ribu tahun lalu."

LAKI-LAKI
"Debu tanah dan bebatuan ini menyentuhku dengan mesra. Memberi kenyamanan yang kubutuhkan dan kuinginkan. Mengapakah kau iba padaku?" 

***

B A B A K 2

(Laki-laki itu bermimpi. Mimpi yang aneh.)

Kutelentangkan diriku. Perih terasa di kulitku. Tercium bau angus kulit jangatku. Baunya membiusku hingga terbawa aku dalam suatu labirin di tengah padang gurun. Aku tiba di pintunya yang terbuat dari seribu batu zaphir yang indah nan rupawan. Kiranya hanya seniman dan tukang ukir termashyur saja yang sanggup membuatnya demikian indah dalam terang siang dan gelap malam.

Di kiri kanan pintu itu kulihat dua penjaga. Badannya berbentuk sapi jantan tetapi berkepala singa dengan tanduk banteng di kepalanya. Yang di kiri jantan dan betina berada di sebelah kanan. Binatang aneh berkelamin jantan itu bermata hijau besar dengan sinarnya yang magis mengaum saat kuhela diriku memasuki pintu labirin dari seribu zaphir itu. Si betina menggeram dengan tak kalahnya sementara gigi-giginya telanjang mengancam siapa yang berani mengganggu. Tapi mereka tak menggangguku. Aku masuk dalam terowongan yang mirip sarang semut itu. Angin hangat berhembus ke arahku seolah seseorang yang kunanti berdiri di sana hendak menyambutku penuh gairah.

Kakiku berjalan tanpa komando. Meninggalkan pikiranku yang masih mencoba mencerna pengalaman magis ini. Dan di sanalah aku, terseret dalam aura hangat tapi tak mengerti maksud ini semua. Di dalam tak ada lagi batu zaphir. 

Yang ada hanya kegelapan total. Pekat namun hangat. Rasa takut bercampur kenikmatan. Kebingungan bercampur kepastian. Baru sekali kurasakan sajian paradoks isi hatiku. Aku ekstasi dalam kepasrahan.

Dibawanya aku dari kegelapan menuju kemuraman. Kemuraman menuju ketiadaan. Ketiadaan menuju situasi tanpa nama. Disajikan padaku riwayat bangsa besar di dunia. Negeri kaya raya dengan emas dan intannya. Terkenal dengan keramahan dan budi baik penduduknya. Keragaman hayati dan hewani. Orang kerap lupa, ini bukanlah surga dunia. Namun satu gurita besar datang dari kegelapan. Gurita ini buruk rupanya dengan tangan-tangan yang dapat menghisap habis darah manusia. Tintanya menoreh sejarah hitam. Hewan aneh ini menggemuk dan beranak cucu. Manusia menganggapnya tuhan. Tuhan yang maha takadil lagi takbijaksana. Daripadanya segala tindakan jahat berasal. 

Hingga penduduk itu tak lagi hidup tenang, hidup dalam ketakutan. Suatu hari gurita itu menua dan mudah lupa. Ia beri kuasanya pada boneka Teddy Bear kesayangannya. Boneka itu hanya bisa senyum. Lalu, di bawah boneka itu negeri itu tak lagi seperti dulu. Neraka jadinya. Saling bunuh, curiga, darah kental, kepala retak, otak berhamburan di jalan, tubuh terbelah, jantung manusia dimakan, yang tua dan muda, berlomba dalam maksimalisasi kematian.

Ketika cerita berhenti, di sanalah aku berada dalam labirin situasi tanpa nama. Tak ada dinding. Tak ada pijakan, apalagi benda-benda yang dapat kukenali. Satu-satunya yang ada di dalamnya hanyalah seekor kambing berwarna hitam dengan warna mata merah menyala. Di mulutnya mengalir darah segar. Tanduknya hitam-kasar-tajam. Kakinya selalu mengais-ngais tanah hingga menimbulkan debu. Nafasnya bau mayat. Ia memandangku. Penuh amarah. Menggeram. Hendak menyerang. Barangkali ia ingin menyerudukku hingga mati, pikirku. Di saat itu aku hanya ingin lari, lari cepat, lari seribu langkah.

Kemudian aku tiba di satu ruangan mewah dengan satu meja makan besar di tengah-tengah. Rupanya sedang ada jamuan makan. Berpiring-piring penuh sayuran, daging, telur, ikan berikut bertong-tong minuman ringan hingga vodka disediakan. Tamunya kecoa-kecoa raksasa yang gendut. Tuan rumahnya boneka Teddy Bear yang selalu tersenyum. Ia memakai tuxedo hitam dengan dasi kupu-kupu di lehernya. Tersenyum atau tertawa gila tiba-tiba. Kecoa-kecoa gendut makan tanpa henti tak peduli ceramah tanpa bentuk si boneka. Apalagi saat nyanyian sendu tentang gadis yang cantik jelita bagai rembulan didendangkan, entitas jorok itu tak bergeming.

Aku pindah ke ruang lain: ini kali kelihatan seekor gurita tua dan anak-cucunya. Mereka sedang rapat penting. Itu kutahu karena ada tulisan "Jangan Diganggu" berikut sekitar lima orang bersetelan jas biru dengan senjata genggam di baliknya. Kulihat sepintas mahluk itu mengangguk-angguk, sementara di depannya dibentangkan satu cetak biru lengkap dengan peta, kemampuan personal, uang bertumpuk-tumpuk dan seember lidah yang basah dan tangan-tangan haus uang.

Di ruangan lain, kulihat seorang ibu sedang memeras buah dadanya dengan satu tangan, sedang tangan yang lain memegang gelas plastik. Di dekatnya menangis seorang bayi merah dengan mata merah menyala dan tanduk kecil di kepala. Ibu itu tak punya susu lagi, dan yang ada padanya hanyalah dirinya dan harapan agar buah dadanya masih menyimpan setetes atau dua tetes susu untuk mengusir rasa dahaga dan lapar bayinya. Tapi sia-sia. Ibu itu sedih dan menangis. Tiba-tiba bayi itu lepas dari dekapannya dan berlari ke ruangan tempat tadi aku berada. Ia ambil obor dan dibakarnya
mahluk yang ada di ruangan rapat itu. Segala mahluk yang ada hangus terbakar.

Berteriak merasa perih membara ketika api lamat-lamat memakan raganya. Aku ingat satu episode kekejaman di negeriku, pria wanita dibakar. Yang pria dibunuh dan dirajam dalam api, yang wanita diperkosa hingga mati. Demikian perih ingatan itu hingga jantungku seolah berpelukan dengan sembilu tajam.

Lalu aku melihat, bayi yang lepas itu melaju ke ruang makan. Ia bakar kecoa-kecoa itu dan boneka sehingga mereka berlumur api. Segala makanan yang ada tak lagi punya arti. Boneka itu berhenti bernyanyi dan mati. Dalam gelora api yang mengganas, bayi itu menyaksikan pijar api yang memakan mereka yang menyiksa ibunya.

Api kian membesar. Ia merangsek ke dinding labirin. Kupastikan labirin ini telah ikut terbakar. Perlahan tapi pasti. Apinya merembeti dinding-dinding, ruangan demi ruangan, fase demi fase. Dan terus meluluh-lantakkan semua yang tadi kulalui. Api mengejarku. Aku berlari. Cepat. Bau angus itu sudah tercium di hidung. Cepat. Aku tak mau mati dalam labirin ini. Kulihat cahaya dari pintu keluar berhiaskan batu zaphir. Demikian kencang lariku, hingga tak kuketahui bagaimana nasib bayi dan ibunya itu. Ketika langkahku melewati pintu gerbang, kulihat dua penjaga tak lagi ada di sana. Permata zaphir itu meleleh karena panas api. 
Berjelaga hitam. Pekat. Labirin itu runtuh dan bau sekian banyak mahluk yang terbakar menusuk hidungku. Rasa lelah menderaku. Rasa haus menyergapku. Aku mencium bau gosong...

***

B A B A K 3

(Laki-laki itu menggeliat, terbangun. Kulitnya perih terbakar, jangatnya gosong.)

LAKI-LAKI
"Ternyata aku tak pernah beranjak dari gunung karang ini."

(Laki-laki itu berkedip. Melongok ke bawah, melihat telaga kering kerontang dengan layu bunga di pinggirnya dan ikan-ikan gosong-hitam-busuk. Ia lelah, ia ingin pulang.)

LAKI-LAKI
"Aku pulang sekarang, Matahari. Barangkali besok, aku akan berdiri lagi di sini... mengacungkan dengan marah tanganku, dan memaki kembali engkau, Matahari, disaksikan gunung karang yang dengan diamnya membiusku."

(Laki-laki itu pergi ke belakang panggung. Selesai)


Australia, 25 Februari 1999 

Kreasi ini dilindungi oleh kesetiaan dan ketekunan, 
jadi mohon hargailah dengan layak dan sepantasnya.
Permohonan atas salinan puisi bisa disalurkan lewat email.
Amang's World - 2001-2003