dunia kecil di belantara maya
ada di sudut kelokan jalan
dekat dapur peradaban

/depan
/indeks sobat

/link
/isisitus

UNTUK CERITA TENTANG HUJAN
Surat Adinda untuk Pelukis Langit Mimpi


Dunia, 20 April 2001

Untukmu yang bercerita tentang hujan,

Sungguh mengherankan, entah sejak kapan aku merasa telah begitu mengenalmu. Mungkin sama seperti halnya tak mampu kuingat sejak kapan aku sendiri mulai begitu mencintai hujan. Karena tentang hujan, rasa kita tak begitu jauh berbeda. Dan kalau boleh ku turut katakan : aku selalu jatuh cinta pada hujan. 

Bagaimana tidak? Setiap hujan datang, ketika tetes pertamanya jatuh di atas permukaan bumi, selalu kusempatkan waktu untuk menghirup harum tanah basah dalam-dalam, agar semerbak mengisi sepasang rongga paruku. 

Tak pernah juga kulewatkan untuk pandangi tetes-tetes air yang bergulir perlahan basahi kaca jendela. Kadang-kadang ku merasa tengah memandangi airmata yang meleleh di wajahku sendiri. Kadang-kadang ku merasa setiap titik bulirnya adalah kita semua. Masing-masing berjalan sendirian, dan ada kalanya dua bulir bertemu untuk kemudian meluncur menjadi satu, meski banyak juga bulir yang tetap meluncur sendirian. Semuanya sama saja, jatuh, terserap, hilang tak berbekas. Entah ia sendirian atau berpasangan.

Belum lagi kesejukan udara kota yang seolah dicuci bersih oleh rintiknya. Dan tentu saja aku setuju denganmu : hujan selalu datang membawa cinta. Hujan datang membawa hasrat untuk berpelukan, hujan datang menyelipkan kerinduan untuk berdekapan. Hujan datang untuk mengusir kepenatan. Hujan hilangkan kegerahan. Bahkan ketika hujan harus beranjak pergi, ia menyisakan keajaiban pelangi.

Tapi ku tetap tak ingat sejak kapan aku begitu mengenal hujan dan dirimu.

Yang mampu kuingat hanya saat-saat kita bersama. Lewati banyak waktu berdua, habiskannya dengan tertawa, bercerita, menangis, tertawa kembali, bercerita…, bercerita…, bercerita…, dan hanya bercerita. Seperti tak ada habisnya saja lidah ini menari-nari lincah muntahkan kata-kata. Tak peduli kita pada malam yang kian gelap pekat. Tak hirau kita pada jarum-jarum jam dinding yang terus bergerak. Seolah tak ada lagi esok, tak ada lagi nanti, tak ada lagi pagi, harus saat ini dan hanya ada saat ini. Paling tidak begitulah aku merekam kebersamaan kita. Tidak tahu dengan kau. Mungkin tidaklah seindah itu.

karena aku bukan bunga padang ilalang
yang sempat temani sang pengembara sepanjang perjalanan
tumbuh liar dengan sangat mengagumkan
paksa jiwamu untuk mendekat perlahan

karena kelopakku tak seharum rekah seribu melati putih
meronai taman hati yang pernah kau jaga penuh kasih
karena rengkuhku tak selayak dewi kebajikan
yang sedia turun ke bumi untuk jadi istri seorang bajingan

karena aku tak serupa bunga-bunga krisan
yang kau dapati begitu cantik dan menawan
bukan pula ia si krisan merah
yang mampu sulut ragamu penuh gairah

karena tuturku tak berkerlip menggoda bak bintang malam
merayumu dalam ujar yang menggetarkan
dan pastinya aku bukan ara
yang tak kuasa kau cinta dalam diam saja

karena aku hanyalah seorang jiwa kelana, 
yang berjalan penuh dahaga di tengah sahara
terlalu sering kecewa diperdaya fatamorgana

aku hanya seumpama kepak sayap,
yang kini terlalu letih untuk kembali hinggap
karena banyak sudah duka-luka yang kukecap.

("Karena Aku Bukan", 15/04/2001)

Aku pun tak mampu ingat, sejak kapan aku mulai merindukanmu atau lebih tepatnya sejak kapan kita mulai saling merindu. Bahkan mencandu. Ya, mencandu! Mungkin baru saja, ………mungkin sejak selamanya. Apakah ini cinta? Karena rasanya terlalu indah untuk hanya jadi sebuah cinta. Kalaupun menurutmu ini cinta, apalah lagi bisa dikata, cinta memang selalu datang tak terduga. Menyergapmu tanpa sempat kau siapkan apa-apa. Menguntit dekat di belakangmu meski kau coba menghindarinya. Menggoda pikiranmu meski kau coba menafikannya. Tapi apakah cinta mesti bersambut rasa? Apakah cinta selalu terwujud nyata?

bila suatu hari nanti aku kembali mencinta
bila akhirnya kutemukan ia lelaki yang kucinta,
cintaku adalah langkah angin yang menyelinap tenang di sela-sela barisan cemara

semilirkan harum tanah basah seusai hari hujan,
hatiku adalah kesempurnaan kesejukan pegunungan
lidahku adalah jilatan liuk dedaunan 
yang hembuskan perlahan nyanyian alam,

nanti…….
bila aku kembali jatuh cinta
dan ada dia yang kupuja.

("Bila Aku Kembali Jatuh Cinta", 03/04/2001)

Aku ingin kau tahu, kaulah pelukis langit mimpiku. Kanvas tanpa batas keluasan. Warna-warni keindahan. Gores garis, titik, dan lengkung yang tak terpatahkan. Guratan kemurnian insan. Ya, kaulah pelukis langit mimpiku dan begitulah aku akan menyebutmu, seperti kau sebut aku adindamu. Semoga kau tidak keberatan.

O, pelukis langit mimpiku, gambar dirimu terpajang dalam pigura-pigura tembaga. Berderet rapi pada dinding kayu di kamar batinku. Menghiasinya dengan sangat sempurna. Mengisi kekosongan yang sebelumnya terasa.

O, indahnya mimpi dua anak manusia. Rentang bayangan tentang masa depan. Rumah jingga cinta kita dalam batas-batas angan. Bangunan asa yang perlahan kita susun lewat kata-kata yang saling bertukaran. Terkadang kurasa sangat menggelikan, karena aku tak tahu apa yang sedang kita lakukan. Dan sekali lagi, aku tak tahu pasti sejak kapan kita mulai berbagi mimpi. 
Tapi semuanya begitu berarti, begitu kunikmati, dan kutoreh tegas di kedalaman hati.

Kemudian kau bercerita tentang rintik hujan dan ajakku bayangkan kita adalah dua bulir sejuknya. Bertemu dalam satu cekungan setelah bermusim-musim tapaki perjalanan panjang. Tak dapat kuelakkan, diriku diterpa keriangan. Apalah lagi yang lebih kuharapkan selain sebuah penyatuan. 

Tapi tak dapat pula kutepiskan, diriku dilanda kecemasan. Kegelisahan karena kudapati diriku hanya mampu duduk di tepi. Tak punya ku cukup tenaga untuk menegakkan kaki-kaki ini. Apalagi untuk lompati sebuah palang besi, yang terpancang dalam merintangi.

Sebutlah aku pengecut kecil! Karena aku hanya berani impikannya di tengah malam. Mendekapnya erat di sudut-sudut keremangan. Membelainya perlahan nyaris tanpa gumam. Sebutlah aku pengecut kecil! Karena aku begitu takut panas matahari akan menghangus-uapkannya. Karena aku begitu khawatir cahaya terang akan menyilau-hilangkannya. Karena aku merasa suara berbisik pun bisa memekak-kejutkannya. 

Aku memang seorang pengecut kecil. Karena begitulah adanya diriku. Aku pasti t’lah buat dirimu kecewa. Masih berartikah jika kukatakan aku tak pernah ingin melakukannya?

Dengan seluruh cinta yang kupunya,
Adinda

 

 

Kreasi ini dilindungi oleh kesetiaan dan ketekunan, 
jadi mohon hargailah dengan layak dan sepantasnya.
Permohonan atas salinan puisi bisa disalurkan lewat email.
Amang's World @ 2003