Pengantar
"Only the very great artists in that strict sense, which alone is true: that art has become a way of life for them. All the others, all of us who only occupy ourselves with art, meet on the same long road and greet each other in the same silent hope and yearn for the same distant mastery...." - Rainer Maria Rilke
KUMPULAN yang diidam-idamkan ini telah dipersiapkan sejak tahun 2001 dengan terlebih dahulu memindahkan karya-karya yang masih berupa tulisan tangan ke dalam bentuk digital. Kesulitan muncul di sana-sini, terutama banyak karya akhirnya sama sekali tidak bisa dipindahkan karena memang ditulis di berbagai medium yang mudah rusak. Namun terlepas dari kesulitan tersebut, buah kerja ketekunan itu ada hasilnya dan kini mulai bisa dibaca dalam kumpulan ini.
Judul yang seronok direinterpretasi dari 'Sex, Drugs and Rock & Roll' (The Rolling Stone, London: Running Press, 1996) dan film 'Sex, Lies and the Video Tapes'. Lalu mengapa aku mengambil judul 'Sex, War and Blues'?
Seks merupakan elemen penting yang seringkali muncul dalam proses kreativitasku. Mungkin aku mengamini saja seloroh Patti Smith, "Sex is one of the five highest sensations one can experience" (Issue 270 - July 27th, 1978) untuk mempermudah menjelaskan pentingnya tema seks dalam kumpulan ini. Singkatnya, aku merasa tidak tabu untuk menghadirkan seks dalam pengertian yang tidak melulu badaniah, tetapi juga rohaniah di goresan karya. Bukankah dengan demikian semua kita akan bisa dapat mencapai pemahaman yang lebih baik atas seksualitas kita?
Sepengertianku, Michael Foucault pernah mencoba mengkaitkan antara seks dan kekuasaan ('Sex and Power', 1996). Hal yang sama juga dituliskan oleh penulis dari negeri sini, FX Rudi Gunawan, dalam buku 'Pelacur dan Politikus' (Jakarta: Pustaka Utama Graffiti, 1997) Kalau sempat bacalah juga pengantar dari Toety Herati yang cukup jitu mengulas tentang seks di halaman v-xx. Bahwa seks itu mahapenting dan vital itu tak terbantahkan, namun relevankah mengkaitkan antara seks dan perang? Cermatilah slogan pendek ini: "Make Love Not War".
Untuk sejenak membuka Kamus Umum Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, 1993 kutemukan 3 pengertian tentang perang dan 31 macam jenis perang. Jumlah ini agaknya fantastis, namun juga kurang tepat. Karena kini, dengan fenomena mundial yang berubah perlu ditambahkan paling tidak nama-nama baru untuk perang seperti "intellegent bombs" untuk perang Irak 1991, "humanitarian intervention" untuk kasus Kosovo, "pembebasan dari imperialisme Jakarta" untuk kasus Timor Lorosae dan yang terbaru tentu saja penamaan "mendemokratiskan Timur Tengah" oleh Presiden George W. Bush yang menggunakan strategi baru dalam perang dengan lebih dahulu melumpuhkan musuh ('axis of evils') sebelum ia menyerang AS. Inilah pembenaran yang dilakukannya dengan lebih dahulu melakukan invasi ke Irak pada tanggal 20 Maret 2003. Entah apa yang akan ditulis oleh Noam Chomsky mengenai peperangan di Irak ini setelah bukunya '9-11' (Open Media Book, 2001) akhirnya bisa kubaca dari pinjaman Indra Krishnamurti.
Seketika itu aku jadi ingat karya Naguib Mahfoudz, baik itu 'Di Bawah Bayang-bayang Perang' maupun 'Awal dan Akhir' yang bersetting sosio-kultural dalam wilayah perang yang kejam. Kata Naguib Mahfoudz, "Tidak hanya pahlawan saja yang lahir di medan perang. Kematian, kemiskinan, perkosaan, pengusiran, wabah penyakit --semua adalah anak halal dari sebuah peperangan." Lalu lewat musiknya Bob Dylan memberikan ilustrasi yang kurang lebih sama.
Namun bagiku perang bukanlah semata-mata berada jauh di negeri Irak (dulu: Persia) sana. Di 'negeri bawah angin' ini (bagi orang Persia, itulah Indonesia yang kini kita kenal) juga ada peperangan yang tak kalah kejam dan sadis. Bahkan perang itu tersembunyi dari mata kita karena kita telah terbiasa. Kataku, peperangan yang kini kita lakukan semuanya adalah pembenaran ('Tentang Perang', 2003). Lalu Frederich Nietzche menambahkan, "Serta sejarah adalah sebuah penafsiran atas pembenaran itu." Catatan peperangan itulah yang muncul di dalam kumpulan ini.
Penulisan peperangan juga amat kental diteruskan dalam tradisi lirik musik blues. Tafsir atas kekejaman rasisme terhadap keturunan Afro-Amerika di wilayah Selatan, diperluas dengan pengalaman Civil War dan Perang Dunia I. Tahu-tahu dari perang, semua prajurit sudah membawa oleh-oleh sejumlah lagu pembebasan dan kritik terhadap nasionalisme. Namun kataku blues bukan lagi milik Amerika saja. "Kurasa blues sudah jadi milik dunia. Bahwa sejarahnya ia lahir di Amerika --bukan di Afrika seperti yang orang sangkakan-- itu tak bisa terbantah. Tetapi seperti halnya reggae, blues tak terikat nasionalisme." ('Nyanyian Blues untuk Saddam', 2003)
Nah, untuk tidak memperpanjangnya kiranya cukup jelas toh pengantarku ini. Pesanku untukmu, "Bahwa sekali lagi benar kemanusiaan kita terlalu muda dan jauh dari paripurna, namun sebaiknya semua kita terus bergegas untuk memperbaharuinya." ('Tentang Kemanusiaan', 2003)
di bawah pohon belimbing, 5 April 2003
A. Suramang
daftar isi | more info..
ORDER NOW
|