/depan
/indeks fragmen
/link
/isisitus
|
|
|
|
HIDUP HANYA SEKOTAK IRONI
"Setiap manusia hidup dengan kepedihannya masing-masing. Dipenjara, diasingkan. Teramat sering melarikan diri. Tenggelam dalam mabuk tak berkesudahan. Sesak karena asap marijuana. Namun, lari dari kenyataan pahit bukanlah obat yang mujarab. Kepedihan adalah terapi untuk menjalani hidup," ujarku suatu kali. Aku bicara tanpa malu di kedai malam. Berteman sepi menikmati bir memuakkan. Rasanya seperti minum kencing kuda, tapi sudahlah toh aku akhirnya ditemani.
Mana pernah kusangka, lelaki yang sorot mata elangnya itu dengan tato bintang gerigi di lengannya merenggut kemejaku, disorongkan aku ke lantai, sambil serapahi aku.
"Taik kucing, kau! Jangan kau kotbahi aku tentang kehidupan. Jangan sekali-kali!" Tangannya yang kasar itu mampir ke tubuhku, mencekikku ke atas sehingga aku sulit bernafas. Aku berusaha meronta, tapi ia tak berhenti.
"Dengar, kutu busuk! Hidup adalah kesia-siaan!" Sesudah itu, ia lepaskan tubuhku.
Aku tak mau berhenti menyadarkannya, karena itu aku lanjutkan ucapanku terdahulu, "karenanya kau harus mengisinya dengan sesuatu yang berharga agar hidupmu bahagia."
"Hidup bahagia, katamu! Kamu ingin hidup bahagia?!" Tertawalah ia. Mencemoohku bulat-bulat. Tawanya keras, tapi bukan jenis gelak-tawa yang jamak didengar di sela-sela acara hiburan. Bukan tawa macam itu. Tawanya seperti setan kuntilanak saja. Giginya yang rompal dengan gusi menghitam menyeringai ke arahku, bau nafas penuh arak menyergap paru-paruku.
Sambil menuding-nudingkan telunjuknya ke mukaku, ia berkata lagi, "Hai, anak monyong. Biar kuberitahu kau apa arti kebahagiaan itu. Biar kau tak lagi asal omong. Kebahagiaan itu terlalu mahal untuk kita. Ia tak dapat diperoleh dengan gratis bermodal dengkul. Ia juga tak dapat dibeli dengan uang. Mau kaya sekalipun tak akan bisa kau peroleh. Lagipula, kau tahu apa soal kebahagiaan? Kutebak ya, pasti yang kau maksud dengan kebahagiaan itu adalah bukanlah segala sesuatu yang kini kita punyai kan? Ayo, jawab! Kau ingin sesuatu yang tak ada di sini, 'kan?"
"Ya, karena aku masih punya harapan."
Laki-laki itu tertawa mendengar perkataanku. Lalu, sekali lagi ia menuding-nudingkan telunjuknya ke mukaku, sambil berkata, "Harapan itu candu!"
Jakarta, September 2000 & Januari 2001
Kamar Penuh Poster
|