/depan
/indeks fragmen
/link
/isisitus
|
|
|
|
WARTAWAN PERANG
Di suatu pagi yang termenung, saat jarum waktu seperti berhenti tertahan mencegah datangnya benderang siang, aku menerima paket kirimanmu. Paketmu berwarna coklat, berukuran 15x20x20 cm, dengan berat sekitar 2,5 kilogram. Tidak ada keterangan apapun di lembar pengiriman kecuali namamu di kolom pengirim dan namaku sendiri di kolom penerima.
Paketmu itu datang tiba-tiba saja, tanpa surat sebelumnya ataupun telepon darimu. Paketmu datang seenaknya sendiri sama seperti kedatanganmu beberapa tahun lalu ke rumahku. Layaknya hantu saja kau ini. Satu hari kau muncul lalu mengetuk pintu rumahku, serta segera duduk berselonjor di sofa rumah, merokok batang demi batang dan terus bercerita tentang rahasia persekongkolan tingkat tinggi antara ketua DPR-RI dengan sejumlah fraksi untuk menggulingkan pemerintah. Padahal kau tahu sendiri, aku masih berdiri melongo mendengar ceritamu hanya dengan handuk melilit di pinggang dan sisa odol di pipi kiri dan kananku. Namun itulah kau, seorang wartawan. Kau menuntut jawaban dan analisisku segera karena kau dikejar tenggat yang kini kau jadikan tuhan dan terus dimonitor redaktur pelaksanamu yang naik pangkatnya menjadi panglima perangmu. Sedang untuk kau sendiri, kau sebut wartawan sebagai prajurit tuhan. __Astaga!
"Tolong tanda tangan di sini, Pak" pinta kurir itu padaku memecah termenungnya pagi.
"Dimana? Di pojok kanan ini?"
Ia mengangguk, lalu cepat-cepat menambahkan, "Juga ditulis nama jelasnya ya, Pak, karena paket ini ada urusan asuransinya."
"Kok pakai asuransi segala? Memangnya isi paket ini apa? Permata India atau bom?" celetukku nakal.
"Oh bukan. Dari nota kiriman hanya disebutkan isinya kamera."
"Kamera?" tanyaku heran.
Aku mencoba menimbang-nimbang paket itu dengan kedua tanganku. Sedikit kuguncang hanya untuk mengusir rasa curiga. Lalu kubuka sampul coklat paket itu. Cuma butuh waktu kurang dari satu menit, lalu jelas sudah isinya memang kameramu. Tapi kenapa?
"Kalau begitu saya permisi dulu. Harus mengantar lagi ke tempat-tempat lain," pamit kurir itu. Ia lalu segera menyalakan motor bebek tuanya dan kelihatan hendak bergegas pergi selagi hari masih pagi.
"Tunggu dulu, jangan buru-buru. Paket ini kiriman darimana?" cegahku sejenak.
"Dari Pidie, Aceh. Mungkin oleh-oleh dari GAM, Pak!" Lalu ia pergi dengan tawa terkekeh-kekeh dari balik helmnya. Tapi menurutku, hal itu sama sekali tidak lucu.
Sebuah paket kiriman dari Pidie, Aceh. Kamera kesayanganmu dan tanda tanya besar di kepalaku. Pertanda apa ini semua sebenarnya? Apa betul kau di sana? Sedang apa? Apakah kau mati atau hidup? Apa kau tidak tahu itu di sana sedang perang? Apa kau tidak baca koran tentang penembakan misterius, pemboman, kuburan massal itu dan anak-anak kelaparan di tangsi pengungsian. Masya Allah! Jelas bagiku, semua ini berlebihan untuk satu pagi yang termenung.
"Hidup itu menyimpan perang-perang yang tersembunyi," katamu dulu di suatu pagi.
"Perang apa? Kita tidak sedang dijajah bukan?" bantahku.
"Bagaimana tidak? Setiap hari kulihat orang lalu lalang dari sini untuk apa, kalau bukan perang melawan kemiskinan. Buat apa kau --ya contohnya kau ini-- pagi-pagi sudah bangun mencuci baju, memasak air, membuatkan kopi untuk dirimu sendiri dan tentu saja aku, lalu kemana? Ke kantormu yang lapuk itu untuk bergaya-gaya dengan kemeja Cerutti? Yang benar saja! Jelas kau pergi untuk berperang."
"Ngawur! Perang sama siapa? Sama bosku?" tanyaku geli.
"Perang dengan dirimu sendiri, itu pertama. Kedua, perang terhadap kecemasan akan nasib buruk yang kau hadapi setiap tanggal tua. Artinya, ada alasan finansial. Ketiga, perang terhadap tekanan sosial yang memojokkan semua pengangguran yang ada di seluruh muka bumi ini sebagai warga negara parasit dan termasuk sampah masyarakat. Keempat, kelima, dan keenam itu semua sama saja dengan perang," jelasmu penuh semangat.
"Kelihatannya terlalu ekstrim kalau kau sebut perang. Mungkin cukup kau sebut itu sebagai tanggungjawab," begitu usulku.
"Tidak tepat. Itu perang dan masing-masing kita sekarang ini sedang berperang."
"Lalu," giliranku bertanya lagi, "seorang wartawan, perangmu apa?"
"Mendahului waktu dan takdir zaman." __Apa?
Tampaknya selorohan kita waktu itu penuh idealisme yang tak lekang sejak aku mengenalmu. Namun kupikir itu semua cuma terjadi hanya sebatas isapan jempolmu belaka. Kan kau ingat sendiri, kau lebih banyak sesumbar tentang pejabat-pejabat yang jadi narasumbermu dan janji-janji bahwa kau akan punya kehidupan yang lebih baik daripadaku, tapi kenyataannya dari tahun ke tahun kau hanya bisa "doktor" alias "mondok di kantor". Katamu, uang yang kau dapat dari menulis itu untuk ongkos revolusi. __Hah? Slogan kampungan yang kau comot darimana lagi itu?
Paket kirimanmu masih kuteliti. Barangkali ada yang tertinggal dari pengamatanku. Siapa tahu ada selembar surat atau potongan informasi tentang apa maksud semua ini dan apa yang terjadi padamu. Tapi itu semua berakhir dengan nol besar. Cuma ada kamera 35mm SLR mekanik, masih lengkap dengan sebuah lensa 35-80 mm, tapi tanpa rol film sama sekali. Betul-betul hanya sebuah kamera standar untuk keperluan liputan. Namun semua orang di galeri tahu, kamera itu hidupmu, kamera itu denyut nadi dan jantungmu bagi darah yang mengalir ke seluruh tubuhmu. Semua orang di kantormu tahu, kamera itu lubuk penuh ikan tempat kau memancing, kebun penuh buah-buahan masak dan ranum, dan lautan hangat berikut koral-koral indah yang pantas kau selami. Kamera itu juga kau jadikan batu loncatan untuk menjadi seorang Henri-Cartier Bresson, Boubat, Hilmar Fabel dan sederet jurnalis fotografer yang keliling dunia untuk mengabadikan peristiwa. Itu semua aku tahu --meski aku cuma sekedar pengagum foto-foto postcard yang dijual di kios-kios pinggir jalan-- karena aku satu-satunya temanmu.
"Kalau satu hari pecah perang di negeri ini, akulah orang pertama yang akan ada di garis depan."
"Mengapa begitu?" tanyaku.
"Suatu peristiwa akan terekam lebih baik bila aku lebih dekat dengan subyek. Cerita pun akan lebih memiliki makna," jawabmu.
"Apa jadinya kalau kau di sini saja, menulis semua beritamu dari bahan-bahan yang disediakan kantor berita dan mengambil foto dari orang lain atau agensi foto," tawarku.
"Aku lebih baik mati saja!"
Semua orang tahu, di Aceh sedang terjadi perang. Bagiku, kepergianmu ke Aceh --itupun misalnya kau benar-benar berada di sana-- sungguh memilukan. Katamu, kau hendak mendahului waktu dan takdir zaman dengan mengedepankan berita yang sesungguhnya tentang perang? Halo, kemana saja kamu selama ini? Kalau bagimu peperangan itu begitu penuh sensasi dan gairah, bagiku perang tak lebih daripada sebuah pembenaran. Kukatakan ini kepadamu karena memang ia membenarkan kepentingan apa saja secara sistematis dan terencana untuk menutupi sesuatu yang salah dari awal-mulanya.
Tidaklah benar kalau sekonyong-konyong kau sebut perang adalah sesuatu yang tak terbantahkan, tak dapat dicegah. Omong kosong saja itu! Perang jelas-jelas didukung oleh berbagai macam kepentingan dan jelas yang berlaku bukanlah hukum alam. Aku tak menyalahkan kepergianmu ke Aceh kalau itu memang yang terjadi. Hanya saja aku berharap berita-beritamu tentang perang Aceh itu janganlah seperti mengagung-agungkan kejayaan perang Troya, perang kemerdekaan segala bangsa, perang Sam Kok untuk menyatukan seluruh dataran Cina yang agung, perang Paderi, babad tanah Jawi, perang Iran-Irak, perang Irlandia-Inggris, pengeboman Inggris oleh pesawat-pesawat Nazi, pembantaian Khmer Merah, Vietnam, Kemelut Korea, perebutan penjara Bastille, dan sejumlah perang lain. Kalaupun kau ke sana --sedikit banyak aku mulai mencemaskanmu-- aku berharap kau menulis tentang kebobrokan dalam kemanusiaan kita karena ketidaktahuan kita akan doktrin-doktrin dan dogma-dogma yang mendukung peperangan.
Lalu jika kau kembali lagi ke sini, di depanku dan seperti biasanya kita berdiskusi sambil main playstation akan kukatakan hal ini kepadamu, "perang cuma berarti tahi sapi". Diskusi selesai, lalu kita main playstation lagi tanpa perlu hirau dengan segala debat kusir di televisi dan radio.
Bodoh!
Betul-betul bodoh!
Tak ada kata lain untukmu! Kau itu bodoh!
Kau kejar-kejar semua peristiwa penuh sensasi itu hanya memuaskan nafsu tuhan dan panglima perangmu. Kau berguling-guling seperti tentara, masuk parit penuh lumpur bau, lalu mengendap-endap untuk mendapatkan bidikan tentang anggota GAM yang diberondong dari jauh oleh pasukan marinir hanya karena ia sedang bersembunyi di tambak. Kemudian kau bergegas lagi pergi ke utara Aceh untuk mengikuti gerak pasukan mengepung markas dan pasukan GAM pimpinan Darwis Jeunib yang terjebak di kawasan perbukitan.
Kalau kau di sini dan kau ceritakan semua hal itu padaku dengan dadamu yang membusung sombong, aku akan tertawa keras menertawakan kebodohanmu. Lalu kuhina-hina semua dogma tentang kebenaran obyektif yang kau usung-usung kemana-mana itu seperti KTP, dan berakhir dengan mengatakan kau adalah korban, korban suatu kebohongan yang busuk.
Namun alih-alih kau duduk menemaniku di sini sambil melihat liputan malam dan tontonan goyang Inul Daratista, malahan kau kirimkan kameramu itu padaku dan kau berharap aku bicara dengan kameramu tentang kosongnya isi kepalamu, jelas tidak mungkin kulakukan itu saat ini. Yang kini terjadi malahan aku mencemaskanmu.
Aku mengambil telepon genggam, lalu kuhubungi redaktur pelaksana harian tempatmu bekerja. Paling tidak aku perlu mencari tahu tentang keberadaanmu.
"Apa benar, saat ini dia di Aceh?" tanyaku.
"Benar. Kontak terakhir ia menelepon dari Aceh Timur. Katanya segera setelah ia meliput bom yang meledak di sana, ia akan pergi ke utara karena ada korban anggota GAM yang ditemukan oleh warga. Selebihnya ia mau mengambil foto-foto kuburan massal yang mulai ditemukan di beberapa tempat. Beberapa warga mulai berani buka mulut tentang kekejaman yang terjadi sejak proses perundingan damai di Aceh hingga operasi keamanan saat ini. Katanya lagi korban-korban itu dari pihak warga yang tidak mau mengakui keberadaan GAM dan menolak membayar pajak perang."
"Maaf. Jadi dimana dia sekarang?"
"Kami tidak tahu."
"Apakah ia masih hidup?"
"Kami tidak tahu."
"Lalu apa maksud kiriman paket kamera ini ke saya?"
"Kamera apa? Kameranya? Kami tidak tahu."
"Tidak ada keterangan apapun?"
"Kami terlalu sibuk mengurus berita yang masuk. Kamu lebih baik menunggu saja."
Pembicaraan terhenti. Tidak ada gunanya mengorek lebih lanjut. Lalu aku coba menelepon beberapa kerabat keluarga agar sedikit lebih jelas keberadaanmu. Semua orang positif menjelaskan bahwa kamu memang berada di Aceh, tapi tidak ada yang tahu persis keadaanmu.
Tidak ada lagi yang bisa menjelaskan, kecuali paketmu. Sekali lagi kuteliti kirimanmu dan untuk kesekian kalinya di pagi yang termenung itu aku terkejut. Pada lembar pengiriman di bagian kolom pengirim, tulisan tangan itu jelas-jelas bukan tulisanmu. Sementara itu telepon genggamku berdering-dering kasar memecahkan perhatianku.
"Ya, halo!" jawabku, sembari mataku terus sibuk meneliti lembar dan tulisan tanganmu.
"Dengarkan baik-baik. Temanmu telah menemani kami di sini. Tadinya ia baik-baik saja, hanya sedikit diperiksa saat mengambil foto. Tapi tak lama ada kejadian bodoh. Ia mencoba mengkhotbahi kami untuk menghentikan perang, jadi ya terpaksa kami tembak mati daripada meruntuhkan moral bertempur pasukan kami. Bagaimanapun perang ini akan terus berlangsung untuk mereguk kemenangan dan kejayaan."
Klik. Hubungan terputus dan sisanya adalah keheningan jantungku yang panjang untuk sebuah pagi yang termenung.
Senepo-Kutoarjo, Juni 2003
|