"The more you know who you are and what you want,the less you let things upset you" (Bill Harris, 'Lost In Translation')
|
|
|
RUMAH BATU UNTUK IBUKU
KUINJAK lagi tanah airku, ibu bumi yang melahirkan aku dan segunung kenangan masa kecil. Negeri akan kekayaan kayu-kayu jati yang marak tumbuh dari lereng bukit hingga lembah serta kejernihan sungai Lusi mengalir dari pedalaman, mili ke belakang rumah, dan bermuara di laut utara Jawa. Kuhirup lagi dalam-dalam udaramu. Bergembiralah diri! Ini kota B, masa kecilku dulu. Kehijauan semata yang tampak. Kemana kering kerontang tanahmu? Kemana kelaparan? Mana kemiskinan yang telanjang? Begini banyak berubahkah setelah lima puluh tahun? Ini B, ranah masa kecilku dengan riap-riap riang di pelukan ibu. Makmurkah kau sekarang, jadi hunian idaman setiap insan?
Kubiarkan aliran tanya dan detak masa mengerjap bersama dalam sederetan kenangan yang biasanya sulit teringat. Mereka berbondong tanpa permisi memenuhi relung dada. Kerjapan pemandangan dari stasiun C hingga ke B seperti film layar lebar berdurasi satu jam. Tak sekedip pun kututup mataku. Keriuhan pagi, jalan-jalan penuh anak sekolah, pasar yang padat, laki-laki dan perempuan giat berbondong pergi ke tempat kerja menjadi isi tontonan layar lebar ini. Ya, kali ini aku menjadi penonton dan menanggalkan ketokohan yang selama ini aku perankan di forum lokal hingga internasional. Ketokohan yang didapat lewat proses yang panjang dan melelahkan. Tapi di sini, di tanah kelahiranku, aku hanyalah penonton. Betapa menyenangkan terlepas dari beban ketokohan yang memaksaku harus tampil seperti nabi. Begitu melegakannya, sampai-sampai kuakui keindahan nas kitab suci yang berbunyi, "Cuma nabi yang tidak diterima di kota kelahirannya sendiri."
Lalu tibalah saatnya kaki kecil ringkihku melangkah pelan sampai ke ujung jalan H. Di sudut jalan itu, terpekur aku di depan pagar sebuah rumah kayu tua yang reyot, kotor dan kumuh semata. Semak-semak tumbuh setinggi betis. Tumbuhan mati meranggas dihisap parasit. Pagar bambunya remuk dan lapuk digerus hawa dan waktu. Rumah siapakah ini? Begitu buruknya, begitu tidak bertuannya.
"Nah, Mas Muk sudah sampai," tegur halus seseorang di sampingku. Ternyata aku tak sendirian datang ke sini. Siapakah laki-laki yang suaranya amat kukenal ini. Pastilah ia, seseorang yang dimintai tolong untuk menemaniku karena kini aku tak lebih dari seorang tua renta, ringkih, dan pikun.
"Bapak kena Alzhaimer!" kata dokterku suatu waktu.
"Lalu kenapa?" tanyaku heran.
"Bapak tak akan mampu ingat semua kenangan," vonis dokter itu.
"Peduli setan!" acuhku. Meski kemudian ada sesal juga yang terbit di kemudian hari karena kepikunan yang kuderita ini bertambah parah sampai aku betul-betul lupa seseorang padahal baru sehari berkenalan.
"Mas Muk enggak apa-apa? Kita sudah sampai di rumah Ibu," kembali tegur halus itu terdengar.
Aku menengok ke samping. Astaga, kiranya orang itu adalah adikku sendiri, si Cus. Lamat-lamat baru bisa kukenali wajahnya. Cus yang baik, Cus adikku kecil. Lalu aku mengangguk pelan, tetapi juga ingin menggeleng. Aku lupa apa harus mengangguk atau menggeleng, tapi kujawab juga pertanyaannya, "Aku capek, Cus. Tolong bawa aku masuk!"
Segera ia bimbing langkahku, tapi kakiku tak kunjung bergerak. Seperti kaku terejam ke tanah, sedang mataku nanar menatap rumah tua itu. Rumah ibu, rumah pertiwi dimana aku dilahirkan. Tiba-tiba perasaan sakit menyerang dadaku, lalu keharuan menyerbu tanpa malu-malu. Bukan hanya itu, derai airmata jatuh berlinang dari pelupuk mata. Entah untuk kesedihan apa. Mungkin karena sekilat melintas bayang-bayang masa kecilku, adik-adik, saudara-saudara tiri, ayah tercinta, lalu wajah ibu. Oh Ibu, akhirnya aku sampai di sini, di rumahmu.
Aku terpuruk takluk mencium tanah seolah mencium sendiri pusara ibu. Kuciumi terus tanah itu, meski wajahku tertempel penuh pada tanah becek penuh embun. Hingga akhirnya Cus menarik badanku dan sempat kaget atas ulahku.
"Mas Muk apa-apa’an? Bangun, Mas! Ayo, kita duduk di dalam! Sudah, Mas! Eh, kok malah mau duduk lagi. Ayo! Ayo!" Tangan Cus terus menarik badanku.
"Sudah biarkan saja!" Sekonyong-konyong hardikan seseorang terdengar.
"Barangkali dia menyesal karena lama tak mengunjungi rumah ibu. Mungkin dia malu sama dirinya sendiri. Cih, dasar penulis bermoral payah!" lanjutnya sinis sambil terus meludah. Ludahnya berjalan begitu pelan di udara, sarat hinaan dan kuman, nyaris saja mendarat di badanku tapi tak kena, lalu jatuh memecah di tanah berkeping-keping.
Dengan wajah dan kemeja penuh tanah dan noda becek, aku perlahan bangun. Cus membantuku sedikit, lalu menepuki semua bagian tubuhku agar kotoran tanah itu rontok. Namun beban kesedihan di hatiku dan rasa marah karena penghinaan itu tak rontok. Bagaimana mungkin dapat kupalingkan mata sedihku dan kuabaikan getir di hatiku selagi kecamuk marah menggelegak di kepala? Kepergianku yang lama nyatanya tak mampu melupakan dan menghapuskannya.
Cus terus menarikku masuk ke dalam rumah dan memberi kode padaku agar membiarkan orang yang meludah tadi. Di dalam rumah, orang tadi terus menyalak seperti anjing geladak.
"Mau apa kau kemari? Mentang-mentang sudah kaya... lupa sama saudara bahkan adik sendiri. Kau pikir kami ini apa? Binatang?"
Ia mendengus seperti kerbau, tapi sebelum sempat aku terus-menerus mengimbuhkan nama-nama binatang untuk melukiskan dirinya karena dari mana aku tahu dia itu siapa, Cus buru-buru bilang bahwa orang itu Yadi, juga adikku. Astaga! Betapa menyesalnya aku. Yadi, kemurkaan apa yang tadi kau semburkan padaku? Aku tak paham.
Tangan kananku kuangkat dan kulambaikan acuh ke mukanya seperti hendak mengusir lalat yang mengganggu. Aku tak paham, aku tak mengerti mengapa kulakukan hal itu yang justru membuat Yadi terus menyalak makin ganas. Akhirnya Cus menghentikan semua itu dengan satu teriakan keras, "Cukup sudah! Hentikan!"
Yadi diam. Aku pun tetap diam seperti awal mula. Jengkerik, serangga rumah, kicau burung walet yang berkerumun pulang saat senja juga lenyap seketika. Lalu aku berbaring dan lampu dipadamkan. Yang tersisa cuma bunyi malam. Kau tahu bunyi malam? Karena aku tidak.
Esok paginya, aku terbangun dengan kusut. Mimpi buruk yang gelap menghantuiku. Seorang serdadu datang dalam mimpi, menendang tulang keringku dan mendaratkan popor senapan ke telingaku. Dalam mimpiku tadi, ia mirip Sang Sakratul Maut karena bisa terbang ke sana kemari tak terjangkau dan seberapa hebatnya aku menghindar, ia terus menyerangku seperti nyamuk Aedes. Layangan tinjunya menyerbu bertubi-tubi seperti aktor laga Bruce Lee.
Aku terbangun dengan badan yang ngilu dan di sekujur tubuhku ada bentol-bentol besar bekas gigitan nyamuk. Rematikku juga kambuh karena udara dingin. Persendian kakiku linu. Namun mimpi tadi malam itu sepertinya pernah kualami sewaktu di pulau Br. Apa kau ingat? Karena aku tidak.
Cus menyambutku di luar pintu kamar. Dipapahnya aku yang tertatih berjalan ke meja makan. Setelah duduk, ia bukakan bungkusan daun jati berisi kue serabi yang empuk gurih lagi hangat. Harumnya kopi panas dari gelas bening menggugah. Ngilu rematikku berangsur-angsur hilang.
"Itu serabi Mbok Seneng, langganan Ibu dulu. Di dekat pasar, seberang jembatan. Sekarang yang jual Yu Nah, cucunya. Mumpung masih hangat, dimakan dulu Mas. Habis itu, baru sama-sama kita perbaiki rumah ibu," ajak Cus.
Aku mengangguk setuju. Lalu kami sarapan. Lewat percakapan, kami berdua sepakat untuk memulai perbaikan rumah ibu sejak pagi ini. Cus akan mencari tukang, sedang aku merancang disain dan akan memandorinya sendiri. Aku paparkan ide-ide segarku pada Cus. Aku ingin membangun rumah batu untuk menggantikan rumah lama yang terbuat dari jati. Cus menyimak setiap angan yang kugagas, memberikan usulan tentang jumlah tukang yang dibutuhkan dan bahan-bahan yang dibutuhkan.
Agak siang, pekerjaan besar itu dimulai. Cus kembali bersama empat buruh bangunan, naik mobil bak yang membawa timbunan pasir, sak semen, dan balok-balok kayu kaso. Pekerjaan besar itu pun akhirnya dimulai. Langkah pertama dari sebuah plot besar telah dijalankan dengan mulus. Peluhku jatuh bercucuran di sekujur tubuh, tapi aku merasa amat bahagia. Sebuah kebahagiaan yang sama nilainya seperti saat kumenulis novel karya puncakku. Pekerjaan hari itu berakhir saat matahari tinggal semburat saja di ujung barat kota B.
Usai adzan maghrib mengumandang, aku, Cus, dan Yadi duduk mengelilingi meja bundar dari kayu jati. Di atas kami bertiga, asap rokok mengepul serupa awan dan masing-masing kepala sibuk dengan dirinya sendiri. Aku sedang berusaha mengkonstruksi dalam kepalaku bagaimana rumah batu ini kelak nantinya. Sedang Cus baru saja hendak menuangkan teh panas kental ke gelasku, tatkala terdengar seseorang memberi salam.
"Assalamualai’kum!"
Kami bertiga diam. Cus menatapku, aku membalas kosong. Cus menatap Yadi. Yadi mulai berulah lagi. "Ini pasti gara-gara dia! Kau selalu bikin masalah di sini!" tudingnya padaku.
"Assalamualai’kum!" Untuk kedua kali salam itu terdengar. Yadi bangkit, lalu sedikit membuka pintu. Tak lama, ia kembali lagi ke meja kami beserta enam orang pemuda. Yang di depan, berjalan gagah dengan kumis melintang, memakai kemeja mulus. Sedang sisanya mengikuti si pemuda berkumis itu seperti ternak peliharaan.
"Bung Muk, apakabar? Kelihatannya sehat ya. Senang sekali akhirnya bisa bertatapan langsung dengan tokoh penulis yang amat dibanggakan kota B ini." Ia guncang-guncangkan tanganku, memelukku, dan meninggalkan aku dalam keadaan bingung tapi aku menyukai sapaannya yang egaliter. Cus mempersilahkan mereka duduk.
"Bung, sejak nama Bung dipuja-puji dan menjadi nominasi hadiah Nobel, saya ingin bisa ketemu Bung lagi dan untungnya sekarang hal itu kesampaian. Memang Bung, ada keperluan khusus datang kemari lagi setelah 50 tahun tak pernah kembali?"
"Saya memang ingin memperbaiki rumah peninggalan ibu. Dipugar jadi rumah batu. Semacam kenang-kenangan..." jawabku.
"Atau semacam tugu peringatan atau musium," sambarnya cepat. "Iya, Bung, musium hidup yang menceritakan asal-usul Bung dan bagaimana karya-karya besar itu dilahirkan oleh seorang anak kelahiran kota B. Pasti banyak orang akan suka melihatnya dan nama besar Bung akan semakin dikenal bahkan oleh anak-anak kecil di sini. Bukan main, ini sebuah kebetulan yang menyenangkan!"
Ia tertawa gembira, lalu dengan sigap ia keluarkan kartu nama. Tertulis demikian: Bramantyo Adiguna. Ketua Panitia Penyelamat Sejarah Kota B. "Kalau Bung kesulitan dengan uang, saya dan para staf bisa siapkan proposal dana untuk dikirim ke lembaga-lembaga kebudayaan asing dan para donatur. Kalau perlu di-CC ke presiden dan nanti mereka datang meresmikan project musium tiga lantai yang megah dengan lantai keramik marmer dan AC untuk mengganti rumah bobrok penuh rayap yang pengap dan bau ini..." Tiba-tiba cerocosnya berhenti.
"Berani benar kau hina rumah ini! Pergi! Bawa semua project di kepalamu itu! Tidak akan pernah kami ngemis sepeserpun uang dari orang lain. Tidak, bukan musium yang ingin kubangun. Pergi sana! Keluar!" Telunjukku menunjuk pintu keluar.
"Tapi Bung Muk, tunggu dulu. Maaf! Tadi maksud kami..."
Cus bangun untuk mengusir mereka. Sementara Cus mengusir, Yadi menatapku tajam, lalu sinis berkomentar, "Biang kerok, kamu! Sok nolak bantuan orang..."
"Diam kamu, Yadi!"
"Sabar, Mas Muk! Sabar!" pinta Cus.
Belum reda kemarahanku, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Dok dok dok.
"Siapa lagi itu? Masuk kalau berani," teriakku lantang.
Seorang setengah baya berperawakan sedang dan berkopiah hitam masuk, diikuti dua pria muda berbadan tegap, bersepatu lars, dan berseragam hijau. Yadi sontak meringkuk ketakutan. Tampaknya ia kenal mereka. Sedang Cus bengong saja.
Orang berkopiah hitam itu berkata, "Bapak-bapak, kami dari kelurahan. Bisa ketemu Pak Muk?"
Dengan masam kujawab, "Saya sendiri."
"Begini Pak Muk. Singkat saja. Tadi kami terima berita dari tetangga kalau Pak Muk berusaha membangun rumah ini. Maaf, demi baiknya kami larang Pak Muk meneruskan agar tempat ini tidak jadi tempat kumpul-kumpul untuk menggalang massa.”
"Tapi ini cuma renovasi saja."
"Apapun itu, rapat kelurahan sudah memutuskan. Sudahlah! Toh, Pak Muk sudah punya rumah bagus di ibukota. Dengar-dengar ada dua malah. Buat apa bangun lagi? Yang ini biar saja begini. Kami masih ingat Pak Muk pernah dibuang ke pulau Br."
"Kalau tidak?" tantangku.
"Kami akan hancurkan rumah ini!"
Yadi melolong, menjerit dan menghiba. Cus menganga seolah tak percaya. Aku murka, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Ini bukan kejadian kali pertama. Hanya saja aku tak percaya hal ini masih terjadi, setelah semua yang aku lakukan, setelah segalanya yang aku korbankan. Aku terduduk dengan hati yang berkecamuk. Tampaknya jelas, rumah batu untuk ibuku tidak bisa berdiri. Yang tertinggal lagi-lagi cuma rumah kayu tua yang reyot, kotor dan kumuh itu. Maafkan aku, Ibu.
Jakarta, Juni 2004
|
|
|
Senang
membaca karyaku?
Dapatkan langsung ke alamat emailmu! Caranya mudah dan praktis. Cukup kirimkan email ke amangsworld, karya-karya ini akan dikirim langsung secara reguler.
|
TagBoard Message Board
|