/depan
/indeks fragmen
/link
/isisitus
|
|
|
|
KIPAS ANGIN DI RUMAH
KAKEK
SEMALAM kudengar lagi Ayah dan Ibu bertengkar soal Kakek. Ayah bersikeras agar Kakek dibiarkan tinggal bersama keluarga kami, agar Kakek tidak kesepian di usia tuanya. Namun Ibu berpikiran lain. Ia ingin agar Kakek tinggal di panti jompo saja. Toh, ia sudah terlalu tua untuk mengurus dirinya sendiri. Pertengkaran mereka ini sungguh tidak enak kudengar dan sangat menggangguku.
Kakek dan aku. Kami berdua layaknya dua orang teman yang bergembira bersama. Tak pernah kupikirkan bahwa teman bermainku itu adalah seorang lanjut usia yang kian dekat ke alam kubur nanti. Bagiku, persahabatanku dengan Kakek adalah persahabatan dua insan yang tiada henti mengeksplorasi kegembiraan hidup.
Bercanda atau tertawa bersama. Bersepeda keliling kampung atau berhenti di rumah makan untuk makan nasi rawon kegemarannya. Semua kami lakukan tanpa batasan usia yang merentang sangat jauh selama dua generasi. Banyak temanku merasa heran dengan sikap bebasku ini, tapi aku dan kakek tak pernah peduli.
Maka mendengar pertengkaran malam tadi, hatiku teramat sangat gusar dan kecewa. Telah kutetapkan tadi bahwa setelah pulang kuliah siang ini aku akan pergi ke rumah Kakek dan menemaninya.
***
"Spada! Kakek, Idang datang nih!"
Tak ada sahutan sedikitpun dari dalam. Pagar hitam dari besi itu turut membisu seperti hantu. Rumah kakek memang sederhana, sangat-sangat teramat sederhana. Apalagi setelah Nenek meninggal karena penyakit darah tinggi yang dideritanya, rumah itu seperti kehilangan gairah hidup lagi.
"Kek, aku bawa nasi cap-cay lho. Nanti kalau Kakek nggak keluar, cap-cay ini jadi dingin," teriakku. Aku tahu, ramuan panggilan ini pasti akan sangat menggodanya untuk segera membukakan pintu.
Tak lama, terdengar seret langkah ke arah pintu depan. Lalu anak kunci terdengar berputar. Kepala kakek menjulur keluar dari balik pintu. Tuh kan, manjur!
"Halo, Dang! Bener kamu bawa cap-cay? Hayo, masuk! Masuklah, pintu pagar tidak terkunci kok."
Aku segera masuk. Nasi cap-cay kuserahkan pada Kakek sambil senyam-senyum nakal menggodanya. Ah, Kakek. Selalu saja sukses membuatku geli. Bukan cucunya yang disapa duluan, tapi malahan menagih makanan. Nyentrik!
Sementara Kakek memindahkan makanan itu ke dalam piringnya, aku mencari tempat duduk yang cukup enak dan bersih. Sofa dan bangku di rumahnya sebenarnya tak ada yang bagus, semuanya serba lama dan kalau tidak penuh noda cat dinding, pasti ada sisa semen yang menempel. Maka, aku pilih duduk di kursi malasnya saja.
"Sebenarnya Kakek tadi lagi ngapain sih? Kok Idang panggil-panggil nggak keluar-keluar? Sengaja ya, mau ngerjain Idang."
"Oh.. au'ah rahasia!" jawabnya pendek dan singkat.
"Alah, paling-paling cuma lagi ngecat dinding kamar mandi. Atau iseng-iseng dengerin Waljinah. Hayo, ngaku dong!" rajukku kepadanya.
Mendengar rayuanku, Kakek malah menyanyikan lagunya Waljinah, ".. walang kekek, walang ijo..." Aku jadi tertawa, kemudian malahan ikut-ikutan menyanyikan lagu 'mars' kegemarannya itu. Selesai menyanyi, aku dan kakek akhirnya berlomba menghabiskan nasi cap-cay yang kubawa tadi.
Kakek terlihat lahap sekali. Berbeda dengan cara makanku yang sembarangan, cara makan Kakek benar-benar rapi sekali. Peralatan makan digunakannya dengan baik, serbet di paha dan sesekali ia menyeka mulutnya dnegan kertas tissue. Tapi dulu aku diberitahu, gaya makan seperti ini dipengerauhi oleh didikan seorang Belanda yang mengangkatnya menjadi anak asuh.
Kuperhatikan Kakek kini agak kurusan dan raut wajahnya semakin berkerut-kerut. Mungkin beban ditinggalkan Nenek masih membayang dalam benaknya. Atau mungkin karena Kakek kesepian? Sambil makan siang, kuceritakan pertengakaran ayah dan ibu semalam kepadanya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terus mendengarkan ceritaku. Kemudian ia mengelus kepalaku dan berkata demikian,
"Katakan saja pada Ayahmu, Kakek tetap ingin tinggal di sini. Di sini rumah Kakek dan Kakek tidak mau meninggalkannya."
Aku menganggukkan kepala tanda mengerti. Kupikir itu jalan terbaik. Kakek masih melanjutkan makan siangnya, sementara aku menemaninya hingga selesai. Siang itu, aku sadar Kakek telah berubah menjadi sangat tua dari yang kukenal selama ini.
* * *
Pagi ini aku pergi ke rumah Kakek, karena semalam ia menelponku untuk datang. Aku tak tahu maksud undangannya, katanya ia ingin memperlihatkan sesuatu kepadaku. Sesampainya di sana, pintu pagar telah terbuka sehingga aku leluasa masuk. Pintu depanpun tidak lagi terkunci. Kakek telah menungguku dengan muka cerah.
Mukanya yang tua tak lagi tampak. Aku seakan kembali berhadapan dengan temanku yang telah lama kukenal.
"Idang, ke sini deh. Ikut yuk ke kamar kakek..." Ia menarik tanganku ke dalam rumah.
Aku jarang sekali masuk ke kamar kakek, jadi aku sejenak tertegun melihat keasrian tatanan kamar kakek. Di dinding terpasang foto Nenek. Foto tante Ida yang telah lama meninggal karena perahunya tenggelam terpasang di sebelahnya. Kemudian berturut-turut foto ayah, Om Basuki, Om Yoyok dan Tante Mien. Cucu-cucu berada di bawah deretan foto-foto itu. Namun tangan kakek menarikku lebih ke dalam lagi sehingga aku tak sempat mencari apakah kakek juga menyimpan fotoku.
"Lihat itu, Dang! Bagaimana pendapatmu?" katanya bersemangat sambil tangannya menunjuk ke arah langit-langit rumah.
"Maksud Kakek, kipas angin merah itu?" tanyaku ragu-ragu.
"Betul. Bagaimana pendapatmu?" desaknya terburu-buru.
Ak tak mengerti harus mengomentari kipas angin merah itu. Tidak besar, tapi tidak kecil juga. Warna merahnyapun kurang menarik hati. Dalam hati aku mencoba menduga-duga kira-kira jawaban apa yang harus kuberikan.
"Ya, cukup bagus. Cukup bagus!" kataku kepadanya. Namun aku sendiri tak yakin dengan jawabanku.
"Hanya begitu saja?! Tidak ada kelanjutannya?" selidik Kakek.
"Unik sih, tapi Idang tak melihat unsur-unsur seni lain yang menonjol." Kali ini aku mencoba lebih jujur. Barangkali Kakek kemudian merasa puas, karena aku tak mau lagi berbohong di depannya.
"Hahaha... Idang, Idang!" Kakek tertawa keras-keras sambil menepuk keras bahuku. Gigi palsunya hampir saja terlepas kalau saja Kakek tak segera menahannya. Sedang matanya yang hitam bolak-balik tinggal putihnya. Pipinya kempot dan nafasnya naik-turun.
"Jelas saja kipas angin itu tidak punya unsur lain yang menonjol. Kakek kan hanya membelinya lima ribuan dari pasar loak Tanah Abang. Jelas sama sekali tak ada seninya. Kamu ini ngelucu ya..." Ia tertawa lagi. Aku tak mengerti harus bagaimana. Rasanya seperti kena perangkap tikus saja. Malu ketahuan sok tahu-nya.
"Idang, kipas angin ini hanya sebagai lambang. Putarannya melambangkan putaran kehidupan ini. Lahir, hidup, lalu mati. Meski pelan, toh ia akan berputar juga. Bila cepat, berarti putaran itu melambangkan semua alur kehidupan dari yang kaya sampai orang termiskin. SIapakah yang mengatur perputaran itu, cuma Yang di Atas sana."
Kakek mengeluarkan sebatang rokok kretek, duduk di kursi goyang, menyalakan korek lalu menghisap dalam-dalam rokok beraroma klembak menyan itu. Aku masih tertegun saja melihat putaran kipas angin itu.
"Warna merahnya mewakili kerja keras manusia yang tak henti-hentinya bergelora mengisi kehidupannya dnegan cucuran keringat bahkan darah dari tubuhnya. Kehidupan itu kadang keras, tapi kadang bisa teramat lembut. Maka manusia harus bisa mengantisipasi perputaran roda nasib dan takdir kehidupan."
Siang itu ia bercerita panjang lebar tentang kipas angin dan kisah-kisah sejak ia muda hingga tua. Perputaran roda nasib dan kehidupan yang dialaminya, di zaman Belanda hingga sekarang ini. Tak ada kisah sedih yang diceritakannya. Baginya, sedih dan perihnya kehidupan hanya soal bagaimana manusia mengapresiasikan peristiwa hidupnya sendiri.
Hari itu aku tidak pulang ke rumah. Aku begitu asyik menemani Kakek dan ingin terus mendengar cerita-ceritanya tentang kipas angin, perang, atau apa saja.
* * *
Seminggu kemudian, tanpa diduga-duga Kakek datang ke rumah kami. Ia membawa kipas angin lagi. Kali ini berwarna putih. Ia hanya ingin menjumpaiku dan berlalu begitu saja di depan ayah dan ibuku tanpa mengindahkan mereka.
"Warna putih ini melambangkan bahwa perputaran nasib berada dalam kebenaran dan kesucian. Hanya manusialah yang kerap kali mengubah kebaikan itu menjadi sesuatu yang merusak dan penuh kedengkian, " katanya singkat, lalu ia pergi.
Sebulan kemudian aku dengar ia kembali membeli sebuah kipas angin berwarna biru. "Bitu itu lambang kasih dan cinta..." Ah, Kakek. Aku tak pernah tahu apa yang dilakukannya dengan kipas-kipas angin itu. Mungkin semuanya dipasang di dalam kamarnya. Atau...
* * *
Kakek meninggal. Kesedihan luar biasa yang kualami takkan mampu dihibur oleh apapun juga di dunia ini. Aku kehilangan Kakek, sahabat dan sebagian diriku.
Aku masuk ke kamar Kakek. Di kamarnya tergantung banyak kipas angin beraneka warna. Berputar dan berputar. Di atas meja Kakek, kutemukan sebuah benda yang masih terselubung kertas koran dan kantung plastik. Kubuka perlahan, isinya kipas angin berwarna hitam. Andai Kakek bisa memberitahukan apa arti warna ini...
Pinggir Ciliwung, 29 November 1996
|