Kini cinta ibarat kerapuhan kota tua
lapuk dimakan kekejaman perubahan cuaca
digerogoti oleh rayap-rayap raja
yang meremuk-runtuh dinding-dindingnya
begitu saja penghuni kota itu pergi
meninggalkan taman-taman hati
entah ke negeri-negeri musim semi
atau sakit lalu mati
kesendirian,
kesendirian
hilir mudik tak keruan
di dalam kota yang tak bertuan
saat gelap pekat mendekap malam
kota pun akhirnya tenggelam
tak ada lagi hiruk pikuk kota
juga riuh rendah irama kerja
jalan-jalan pun telah menjadi sepi
cuma seorang lelaki berjalan sendiri
di bawah lampu yang berjajar berdiri
menyanyi mencoba mengusir gulana-sepi
merintihkan lagu yang kelam
naik-turun seraknya suarakan muram:
-lelaki yang ringkih menghangatkan malam-malamnya
dalam peluk duka-lara- *
ia kenal itu irama
di keremangan kota-kota
saat mabuk di kedai minuman vodka
sambil menghisap rokok ganja
kesedihan,
kesedihan
betapa ia terus merajam
mengiris hati dengan kejam
mencoba-coba berpasrah diri
melambai berpisah sambil merintih lagi:
-hadapilah ini
kisah kita tiada abadi- **
o, kepasrahan yang seumur hidup ia benci
kini malah menjajah-menaklukan diri
mendesak-desak meminta sebuah kompromi
atas lembar-lembaran rahasia hati
kepasrahan,
kepasrahan
adakah dapat menghindar pergi
dari cakarnya yang keji
Kini cinta cuma milik para kelana
yang gemar mengutip-utip ucapan para pujangga
memburu-buru mimpi
mengejar-tangkap tragedi
apa jadinya bila kita enggan mengembara
adakah cinta akan mampir pula
untuk duduk singgah di taman-taman hati
menyiangi bunga-bunganya kembali
Lalu, menyalakan kemuraman cahaya
menghidupkan keriuhan kota
menebalkan dinding-dindingnya
agar kota tua jadi kembali muda
harapan,
harapan
mengetuk-ngetuk dari balik jendela
mencoba menyelinap ke dalam dada
o, betapa indahnya berbalur mimpi
betapa nikmatnya mencandu harapan
berlari dari kemutlakan sepi
dan penjara kesendirian
Jakarta, 12-13 Januari 2001
Gedung Bhima (Mess Perwira)